Ditulis Oleh :

Chyntia Leony Angelina, Mahasiswa UNNES Magang di LRC-KJHAM

LRC-KJHAM bersama dengan Koordinator Nasional IPPI melakukan diskusi melalui Live Instagram Ngemper (Ngobrol Asyik tentang Perempuan) Episode ke 55, pada tanggal 11 September 2022.  Diskusi kali ini membahas mengenai isu yang belakangan ini hangat diperbincangkan yaitu tetang pendapat dari seorang Gubernur Jawa Barat yang menyampaikan bahwa “Poligami adalah salah satu cara untuk mengurangi HIV AIDS”. LRC-KJHAM telah mengundang seorang narasumber yaitu Ayu Oktarini yang merupakan Koordinator Nasional IPPI. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) merupakan jaringan nasional perempuan yang hidup dengan HIV dan terdampak HIV di Indonesia. IPPI memiliki pengalaman yang kuat bekerja dalam beberapa sector diantaranya isu kekerasan terhadap perempuan yang hidup dengan HIV, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu kepada Anak termasuk dukungan psikososial kepada orang tua dengan anak yang hidup dengan HIV; penguatan dan mobilisasi komunitas melalui penguatan perspektif kepemimpinan feminist dan Hak kesehatan seksual serta reproduksi; serta yang sedang dikembangkan adalah pemberdayaan Ekonomi.

Saat mengetahui berita tersebut, narasumber mengaku sedikit panik dikarenakan statement tersebut dikeluarkan oleh seorang pemimpin sebuah provinsi, walaupun pemimpin tersebut sudah mengajukan permintaan maaf dan menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan opini pribadinya. Namun kita dapat melihat bahwa sudut pandang atau bahkan pemahaman seorang pemimpin tentang konteks HIV/ AIDS, perempuan, kesehatan ini masih sangat abu-abu. Tidak diketahui atas dasar apa seorang pemimpin menyampaikan pendapat tersebut, dan masyarakat sempat menduga  bahwa adanya hubungan politik dalam hal tersebut. Gubernur tersebut merupakan orang sekian yang merupakan seorang pemimpin yang menyatakan pendapatnya tentang HIV tapi kemudian kurang tepat. Kemudian perasaan kecewa juga timbul dikarenakan pemberitaan yang terbagi menjadi dua statement berupa “poligami menjadi sebuah solusi HIV” atau “menikahkan anak muda yang sudah kebelet menikah atau melakukan hubungan seks”. Selain itu sebagai seorang pemimpin yaitu Gubernur Jawa Barat, yang mana daerah tersebut juga diketahui merupakan salah satu daerah dengan angka kasus kekerasan paling tinggi tapi seorang pembuat kebijakan (decision maker) malah kemudian memberikan pendapat yang mengakibatkan kekeliruan dan kesulitan untuk meluruskan hal tersebut. Saat itu IPPI mengalami kerepotan untuk menangkal isu tersebut, IPPI dituntut untuk mengeluarkan statement, bahkan terdapat orang yang menentang keras isu tersebut dengan berpendapat bahwa “daripada Jawa Barat menjadi lautan poligami, lebih baik ibaratnya banyak orang yang terkena HIV daripada orang yang poligami. Karena mungkin orang yang terkena HIV masih lebih bisa diatur”. Pernyataan tersebut juga dinilai sangat berbahaya bagi orang awam ataupun orang yang pemahamannya kurang mengenai penularan HIV/ AIDS, yang mana kemungkinan akan setuju dengan pendapat tersebut karena disampaikan langsung oleh seorang pemimpin sehingga dinilai benar.

Pada kenyataannya penularan HIV dapat terbilang sulit dikarenakan hanya dapat tertular melalui beberapa cara. Namun dikarenakan penularaanya yang sulit, banyak orang yang cenderung menggampangkan dan menganggap bahwa HIV itu murni konteks kesehatan. Padahal sebenarnya HIV juga termasuk dalam kontek sosial. Bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari itu dan seharusnya bisa dijadikan sebagai alat pencegahan dan mencegahnya tidak dengan poligami, karena pernikahan di Indoneisa konteksnya masih sangat abu-abu. Banyak orang yang masih melihat itu sebagai perintah agama bukan sebagai suatu kesadaran, sehingga banyak sekali ketimpangan dan kerugian terhadap perempuan.

HIV dapat ditularkan dengan beberapa cara, yaitu:

  1. Hubungan seksual dengan cara tidak aman
  2. Pertukaran jarum suntik yang tidak steril (narkoba)
  3. Tranfusi darah atau transplantasi organ
  4. Ibu yang positif HIV kepada bayinya, kalau ibunya tidak menjalani pengobatan.

Adapun cairan tubuh yang dapat menularkan HIV, antara lain:

  1. Cairan darah
  2. Cairan vagina
  3. Cairan mani
  4. Cairan air susu ibu (apabila ibunya tidak mengalami pengobatan)

Saat ini Indonesia dinilai masih cukup diskriminatif terhadap pemeriksaan HIV, sehingga banyak sekali orang-orang yang tidak berkesadaran untuk melakukan pemeriksaan. Rata-rata orang yang melakukan pemeriksaan HIV merupakan orang yang sudah jatuh sakit dan itupun dengan rujukan dokter. Setelah diperiksa pasien akan mendapatkan hasil reaktif atau non-reaktif. Apabila non-reaktif, pasien akan diperiksa ulang karena ditakutkan masih dalam fase jendela sehingga masih belum terdekteksi. Namun apabila sudah reaktif/positif maka secara teknis atau yang sudah pasti dilakukan yaitu dokter akan melakukan pemeriksaan kesehatan secara keseluruhan untuk mengetahui kondisi pasien. Temasuk melakukan skrinning TBC, barangkali terdapat infeksi lainnya. Apabila terdapat penyakit lainnya maka akan diobati terlebih dahulu, sambil persiapan melakukan pengobatan Antiretroviral (ARV) yang akan dikonsumsi seumur hidup. Namun apabila tidak ada penyakit lainnya dan kondisinya baik maka pengobatan antiretroviral dapat segera dilakukan. Selain kondisi kesehatan atau fisik setelah terdeteksi HIV, kondisi mental tentunya perlu juga untuk diperhatikan. Pasien positif HIV akan mengalami kondisi kacau seperti penerimaan diri, kemudian memahami kondisinya untuk selanjutnya. Maka disarankan untuk mereka apabila sudah siap agar segera mencari teman kelompok dukungan sebaya/sesama positif HIV agar mendapat penguatan bahwa dia tidak sendirian dan dapat berproses bersama.

Dalam pengobatan Antiretroviral (ARV) memiliki fungsi untuk menekan laju pertumbuhan virus bukan untuk mematikan virus HIV, ARV juga disediakan oleh pemerintah secara gratis bagi pasien HIV. Oleh karena itu ARV harus dikonsumsi seumur hidup dengan rutin dan komitmen, sampai kemudian dimungkinkan untuk para ilmuwan dapat menemukan obat yang menyembuhkan HIV. Apabila ARV tidak dikonsumsi secara rutin, dampak yang ditimbulkan tidak akan langsung terlihat namun akan muncul dalam jangka waktu lama, dan ketika muncul yang ditakutkan ialah virus tersebut sudah kebal terhadap obat sehingga sulit untuk ditangani. Terdapat prinsip HIV yang dikenal sebagai prinsip ‘Undetectable equals Untransmittable‘ atau ‘U=U’, ‘Tidak Terdeteksi = Tidak Menular’ ‘T=T’. Maksudnya adalah apabila seseorang yang mengkonsumsi ARV, dan dia telah sampai di titik tertentu untuk berkomitmen minum obat maka dia akan tidak terdeteksi lagi virusnya. Bukan berarti virus tersbut hilang namun virus itu akan bersembunyi sehingga tidak lagi dapat terdeteksi dan tidak bisa menyerang kekebalan tubuh. Pada saat itu terjadi pasien tersebut tidak akan menularkan ke orang lain, sehingga pasien tersebut dapat melakukan perencanaan kehamilan, dan tidak menularkan pasangan. Namun kondisi undetectable hanya bisa mencegah HIV, jadi apabila masih tetap bisa.

Teknik Pencegahan HIV yang dianjurkan seluruh dunia dengan pedoman ABCDE:

  1. Abstinence   : Berhubungan seks pada saatnya dengan kesadaran atau tidak sama sekali
  2. Be faithful    : Setia pada satu orang pasangan/pasangan tetap
  3. Condom       : Gunakan kondom bila harus melakukan hubungan seksual selain dengan pasangan tetap
  4. Drugs           : Tidak menggunakan narkoba
  5. Education     : Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang berkesinambungan. Serta memiliki kesadaran dan bertanggungjawablah atas diri sendiri.

Pada akhirnya poligami tidak bisa menjadi solusi pencegahan penularan HIV karena banyak sekali kasus salah satunya yaitu poligami yang tidak sah atau tidak tercatat dalam catatan sipil/hanya menikah secara agama. Poligami dapat dilakukan secara sembunyi, karena dalam hukum agama seorang pria dapat menikah tanpa wali, tanpa keluarga besar, bahkan tanpa status. Sehingga tidak adanya jaminan perlindungan terhadap perempuan, baik dalam kekerasan rumah tangga maupun HIV sebagai dampaknya pada saat poligami dilakukan. Maka lakukanlah pernikahan dengan satu orang pada waktu yang tepat dan cara yang tepat.

Pemerintah diharapkan dapat membuka kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat/kelompok manapun berkaitan dengan isu-isu penting untuk dipahami karena dalam tugasnya mereka mengatur semua sektor tapi tidak semua sektor yang mereka pelajari atau pahami secara mendalam. Sehingga salah satu alternatifnya ialah membuka kesempatan ruang diskusi supaya mereka paham sesuai dengan sektornya. Misalnya dalam hal penanganan HIV dapat membuka ruang diskusi sesuai levelnya dengan pemerintah sebagai pelaksana, masyarakat, kelompok penggerak, serta layanan kesehatan. Serta dibutuhkannya integrasi dari semua sektor karena HIV bukan hanya milik kementerian kesehatan saja tetapi seluruh elemen pemerintah dan masyarakat. Kemudian terhadap masyarakat untuk tidak cepat percaya akan isu-isu yang belum pasti kebenarannya, sehingga harus mengkonfirmasi isu tersebut kepada ahli/lembaga yang berwenang. Kepada masyarakat sangat diperlukannya kesadaran akan pencegahan dini dan responsif terhadap diri sendiri serta pencegahan penularan terhadap orang lain apabila sudah terinfeksi HIV. Tentunya dengan informasi dan edukasi yang tepat.