17 Juli 2022
Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak pada sekitar 2 bulan yang lalu di damaikan oleh aparat setempat. Bahkan diantara yang ikut dan berinisiatif mendamaikan adalah sebuah Lembaga yang seharusnya memberikan pendampingan bagi korban kekerasan. Proses ini menghasilkan surat perjanjian berisi diantaranya pelaku akan menikahi korban. (salah satu kasus yang didampingi oleh LRC-KJHAM)
Proses penyelesaian kasus di luar pengadilan semacam ini banyak terjadi di sekitar kita. Keadilan restorative masih dipahami sebagai proses perdamaian antara korban dengan pelaku, dengan tidak mempertimbangkan pemulihan korban. Padahal beberapa peraturan seperti Peraturan POLRI Nomor 8 Tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 dan SK Dirjen Badilum Nomor 1691/ DJU/ SK/PS.00/12/ 2020, salah satu hal yang perlu ditekankan dalam penerapan keadilan restorative adalah pemulihan.
UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga mengatur secara jelas di pasal 23 “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.” Ini menegaskan bahwa penerapa keadilan restorative tidak bisa diberlakukan untuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa.
Tulisan ini adalah hasil refleksi dan diskusi bersama Mba Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) dalam pertemuan pembekalan pemantauan Keadilan restorative dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan.
Ditulis Oleh :
Nur Laila Hafidhoh, Direktur LRC-KJHAM