Oleh : Muhammad Azhar Hanif, Mahasiswa Magang Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Pada tanggal 6 Januari 2024, LRC-KJHAM Diskusi Live Instagram “Ngemper” (Ngobrol Bareng Perempuan) ke-74 dengan Kepala Operasional KJHAM Ibu Nihayatul Mukharomah, S.H, M.H dengan tema “Kenali Hak Korban dalam UU PKDRT”.

Setiap pasangan suami istri tentunya mengharapkan untuk mempunyai kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang, harmonis dan bahagia. Setiap keluarga pada awalnya selalu menginginkan kehidupan rumah tangga yang aman, nyaman, dan membahagiakan (Rochmat 2006). Namun tidak bisa dipungkiri kehidupan berkeluarga memang tidak hanya tentang kasih sayang dan kebahagian. Sepasang suami istri bahkan sebuah keluarga juga dapat mendapatkan konflik yang pelik akibat kesalah pahaman atau ketidak sesuaian antara satu sama lain diantara anggota keluarga. Konflik yang tidak kian usai dapat menimbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Perilaku kekerasan merupakan tanggapan atau hasil dari rasa stress yang dialami seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku yang real melakukan kekerasan baik pada diri sendiri dan orang lain baik yang dilakukan secara fisik maupun psikologis (Berkowits 2000 in Yosep 2011). Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan atau aksi yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain secara fisik disertai dengan amukan dan kegaduhan serta emosi yang tidak terkontrol (Kusumawati dan Haryono, 2011).

Sepanjang 2023, pengaduan terbanyak dilaporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan diperkuat dengan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) adalah kasus kategori fisik. Yakni, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data yang terhimpun dari Simfoni PPA dan Sapa 129 selama Januari-November 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah KDRT sebesar 73 persen dengan jenis kekerasan fisik. Kekerasan memang tidak memandang gender, tapi berdasarkan data tersebut menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang sangat mengkhawatirkan dan meresahkan.

 Jenis-jenis kekerasan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bu Nihayatul mengatakan bahwa di dalam UU no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan ada 4 jenis kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran dalam rumah tangga. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang paling mudah untuk diidentifikasi karena terdapat bekas luka atau memar yang ditinggalkan seperti dipukul dan disudutt rokok. Kekerasan psikis biasanya dilakukan secara verbal sehingga mempengaruhi psikologis korban memang tidak bisa dilihat secara jelas oleh mata tapi mental korban akan mengalami gangguan seperti gampang stress, susah tidur, bahkan ada bsisikan untuk bunuh diri, skyzofrenia. Kekerasan seksual telah diatur di UU PKDRT dimana dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Bu Nihayatul menambahkan bahwa suami juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual baik terhadap istri, anak, bahkan pembantu atau ART dapat termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Penelantaran dalam rumah tangga banyak dijelaskan seperti penelantaran secara ekonomi, dan kurangnya kasih sayang.

Pentingnya Marital Rights dalam sebuah pernikahan

Dalam hubungan suami istri atau sebuah pernikahan terdapat istilah Marital Rights. Marital rights adalah Hak perkawinan mengacu pada hak dan keistimewaan yang menjadi hak pasangan dalam hubungan perkawinan. Secara tradisional, hak-hak perkawinan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, yang memandang suami sebagai “pencari nafkah” utama, kepala rumah tangga, dan mempunyai hak atas tubuh istrinya. Perspektif ini telah berubah seiring dengan berkembangnya masyarakat, dan hak-hak perkawinan kini mencakup hak-hak yang lebih luas yang berlaku bagi kedua pasangan. Bu Nihayatul menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat memunculkan marital rights seperti dalil agama bahwa istri harus menuruti suami dan jika tidak menuruti akan dicap sebagai pembangkang. Contoh dari marital rights adalah “seorang suami memaksa istrinya untuk berhubungan seksual sedangkan si istri tidak menghendakinya itu termasuk dalam kekerasan seksual juga karena sejatinya bukan hanya suami yang punya hak seksual tapi istri juga punya hak seksual sehingga untuk berhubungan seksual harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak” tutur Bu Nihayatul. Oleh karena itu, marital rights ini sangat penting dalam sebuah hubungan pernikahan karena hal ini dapat menjadikan sebuah hubungan pernikahan menjadi harmonis, dan tentram. Dengan adanya marital rights sepasang suami istri akan lebih menghargai hak dan keinginan dari pasangannya tersebut sehingga tidak akan terjadi tindakan pemaksaan dan tindakan diskriminasi dalam hubungan pernikahan.

Bu Nihayatul Mukharomah menutup diskusi “Ngemper” ke-74 ini dengan pernyataan bahwa beranilah untuk speak up agar apa yang dialami khusus nya KDRT yang dialami sehingga itu akan membantu mu dalam mendapatkan layanan, pemulihan dan itu akan memutus rantai kekerasan yang kamu alami.

Bibliography

Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PEREMPUAN. JPPM, 20-27.