Oleh : Firda (Mahasiswa Magang Universitasi Diponegoro Semarang)

Pada tanggal 31 Juli 2023, LRC-KJHAM menyelenggarakan “Ngemper” (Ngobrol Bareng Perempuan) ke-66 dengan Bu Nyai Nur Rofi’ah—dosen Pascasarjana di PTIQ Jakarta dan founder Ngaji Keadilan Gender Islam—melalui live Instagram dengan judul “Kekerasan Seksual di Pesantren”.

Seperti yang telah umum diketahui, pesantren adalah tempat untuk menimba ilmu agama, tujuan akhir belajar ilmu agama sendiri adalah agar orang yang mempelajarinya memiliki akhlak yang mulia sehingga dapat menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta atau yang bisa dikenal dengan “rahmatan lil ‘alamin” terutama bagi pihak yang lemah dan rentan dilemahkan. Penting untuk selalu ditegaskan bahwa Islam mempunyai misi menjadi anugerah bagi semesta, terutama bagi kaum lemah dan dilemahkan karena dua kelompok itu lah yang rentan menerima kedzaliman. Jika mengacu pada Al-Qur’an, standar tunggal kualitas manusia adalah takwa, takwa memiliki arti beriman kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan berbuat maslahat kepada seluruh manusia. Sementara dalam ayat lain, Tuhan menyebutkan bahwa manusia haruslah berbuat adil terutama kepada pihak yang lemah dan rentan dilemahkan karena adil itu lebih dekat pada takwa.

Namun tak disangka, kekerasan seksual masih terjadi di pesantren yang notabenenya adalah tempat utama untuk belajar agama, bahkan jika mengacu pada data Komnas Perempuan, selama tahun 2015-2020, kasus kekerasan seksual di pesantren menempati posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi. Kekerasan seksual jelas menjadi hal yang bertentangan dengan misi Islam, karena kekerasan seksual adalah perilaku menzalimi pihak lemah dan rentan dilemahkan di setiap relasi.

Adanya Relasi Kuasa yang Timpang dalam Kekerasan Seksual

Bu Nyai Rofi’ah berpendapat bahwa kekerasan seksual yang terjadi di pesantren disebabkan oleh relasi kuasa yang timpang. Relasi kuasa yang timpang merupakan kondisi di mana salah satu pihak memiliki power yang lebih tinggi dibandingkan  yang lainnya, serta menggunakan hal tersebut untuk menguasai individu atau kelompok yang dianggap lemah. Jika dikaitkan dengan konteks pesantren, kekerasan seksual seringkali dilakukan oleh guru terhadap santrinya. Guru jelas memiliki kuasa yang lebih besar karena status sosialnya yang lebih tinggi dibanding dengan santri yang powerless.

Konsep “Kejantanan” dan “Kesucian”

Relasi kuasa yang timpang juga mewujud dalam perilaku memandang rendah orang yang lemah dan rentan dilemahkan sebagai objek seksual semata. Lebih lanjut, Bu Nyai Rofi’ah menjelaskan bahwa terdapat pandangan yang problematik terkait konsep “kejantanan” laki-laki dan “kesucian” perempuan. Selama ini, laki-laki dianggap “jantan” ketika berhasil memikat, memacari, memperistri, dan ‘meniduri’ banyak perempuan. Sedangkan perempuan dipandang “suci” ketika perempuan berhasil menjaga kemurnian organ kelaminnya dengan tidak berhubungan dengan lawan jenis. Dalam pandangan Bu Nyai Rofi’ah, konsep “kejantanan” harusnya bukan tentang seberapa kuat laki-laki melampiaskan libido seksnya, justru sekuat apa laki-laki mengendalikan libido seks dan hanya menyalurkan libido seksnya dengan cara yang halal, baik, dan pantas sebagai makhluk yang berakal budi. Begitu juga dengan kesucian, harusnya suci atau tidaknya seorang perempuan ditentukan oleh sejauh mana perempuan menggunakan organ kelaminnya secara halal, baik, dan pantas.

Strategi untuk Mencegah dan Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren

Ketika ditanya mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, Bu Nyai Rofi’ah menjabarkan bagaimana strategi-strategi baik secara kultural maupun struktural yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di pesantren.

Strategi kultural dapat diwujudkan dengan cara membangun kesadaran dan budaya anti kekerasan seksual melalui proses pendidikan di pesantren. Selama ini, kurikulum pendidikan di sebagian besar pesantren masih mengacu pada kitab-kitab klasik yang banyak mengandung teks-teks yang bias gender dan menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang pada akhirnya membuat kaum perempuan berada dalam posisi rentan menjadi korban kekerasan—meski tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga dapat mengalami kekerasan seksual. Cara pandang yang bias gender tersebut harus dihilangkan dan setiap civitas pesantren harus membangun cara pandang baru bahwa setiap manusia—terlepas dari apa jenis kelaminnya, berapa usianya, apa status sosial dan kedudukannya—adalah setara karena setiap manusia wajib dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk intelektual—karena berakal—sekaligus makhluk spiritual—karena berhati nurani.

Sementara strategi struktural dapat dilakukan dengan membuat peraturan pondok yang memberikan sanksi tegas dan membikin jera para pelaku kekerasan seksual. Selain itu, penyelenggara pesantren juga harus memastikan bahwa setiap ruang yang ada di dalam pesantren adalah ruang yang tidak kondusif untuk kekerasan seksual. Jika pesantren tidak dapat melakukan hal tersebut, maka pemerintah wajib turun tangan untuk mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, terlebih saat ini sudah ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dapat menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual.

Bu Nyai Rofi’ah menutup diskusi “Ngemper” ke-66 ini dengan pernyataan bahwa kekerasan seksual merupakan kekerasan yang sistemik sehingga upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual harus melibatkan kerjasama masyarakat, penyelenggara pesantren, dan pemerintah.