Ditulis Oleh: Petricia Putri Marricy (Mahasiswa Magang LRC-KJHAM)
Duka menyelimuti Kota Bandung pada Jumat, 5 September 2025. Jenazah seorang ibu yang tergantung di kusen pintu rumah, bersama dua anaknya terbaring tak jauh dari situ, ditemukan pada pukul 04.00 WIB. Meninggalkan seutas surat wasiat, sang ibu mengeluhkan batin dan fisiknya yang lelah karena terjerat masalah ekonomi.
Karena judi online yang dilakukan oleh sang suami, keluarga mereka terlilit utang yang terus menggunung. Dalam suratnya, sang ibu mengatakan bahwa “Saya lelah punya suami yang selalu bohong, tidak ada sadarnya. Saya lelah terus-menerus disakiti hatinya, sudah jelas-jelas dikucilkan orang lain, diomongin, dibenci, padahal tidak merasa berbuat salah.” Tak ingin kedua anaknya sengsara, ia mengajak kedua bocah lelaki itu ikut ke liang lahat.
Sebagai seorang ibu, ia tak hanya menanggung beban ekonomi yang meningkat, tetapi juga tanggung jawab terhadap dua orang anak, serta nama baik keluarga. Minimnya ruang ekspresi seorang ibu menyebabkan kondisi psikologis berangsur-angsur menurun. Ketika dirasa tak ada lagi solusi yang berarti, bunuh diri sering kali dianggap menjadi solusi.
Beban Ganda dan Minimnya Ruang Ekspresi Ibu
Dalam sebuah keluarga, seorang perempuan berhadapan dengan tanggung jawab yang begitu besar. Kurangnya partisipasi seorang ayah dalam pengasuhan anak, maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kekerasan seksual dalam rumah tangga yang berujung pada memburuknya kondisi mental seorang ibu. Kedudukan, peran, dan status seorang ibu membuat mereka rentan mengalami stres yang berdampak pada kualitas hidup. Kondisi tersebut tentu menjadi hambatan bagi seorang ibu untuk merasa bahagia.
Seorang ibu umumnya dianggap sebagai sosok yang mengayomi, melindungi, dan merawat keluarga. Ada ekspektasi gender di mana perempuan dibentuk sebagai sosok penolong, khususnya bagi anak-anak mereka. Padahal, seorang ibu juga membutuhkan pertolongan dan dukungan. Besarnya beban yang dimiliki seorang ibu tentu harus diseimbangkan dengan kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik dan sehat akan membantu seorang ibu merasa bahagia dalam menjalani tugasnya.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan memerhatikan bagaimana konsep beban ganda ini merugikan perempuan. Di samping itu, CEDAW juga menuntut penghapusan segala stereotip terkait peran tradisional yang menaruh perempuan pada posisi pengasuh utama. Penaruhan posisi sebagai pengasuh utama, sementara sosok ayah atau suami tidak terlibat dalam urusan pengasuhan termasuk ke dalam diskriminasi. Pasal 11 CEDAW menegaskan tentang hak perempuan untuk bekerja dengan memperoleh perlindungan sosial, termasuk di dalamnya tercatat tentang cuti ayah, penitipan anak, dan jam kerja fleksibel.
Hal ini menunjukkan bahwa beban ganda ibu tidak hanya berada di lingkup keluarga, tetapi juga merupakan masalah struktural dan hak asasi. Dukungan negara akan pembentukan kebijakan publik yang ramah gender, dan perubahan norma sosial adalah kunci untuk menciptakan ruang ekspresi dan menjaga kondisi psikis ibu.
Sayangnya, masih banyak orang yang belum peka terhadap kondisi lingkungan pendukung ibu. Konstruksi sosial yang mewajibkan seorang ibu sepenuhnya mengurus anak, sementara suami tidak, tentu saja merugikan sang ibu. Belum lagi, jika masalahnya adalah terhimpit tekanan ekonomi. Seorang ibu harus bekerja untuk membantu membangkitkan kondisi finansial keluarga, sekaligus memastikan suami makan dengan teratur, serta anak-anak tumbuh dengan baik. Kondisi-kondisi ini memperburuk kondisi mental sang ibu, terkhusus jika ia tak memiliki ruang ekspresi di mana perasaan, emosi, dan suasana hatinya dapat disalurkan dengan sehat.
Pentingnya Merawat dan Merangkul Ibu
Kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan seluruh keluarga. Ia menopang segala beban yang harus dikerjakan, tetapi tak sedikit pun merasa keberatan. Masyarakat kerap melekatkan identitas tangguh dan penuh tanggung jawab pada sosok ibu. Namun, sering kali terlupa bahwa tugas yang lebih besar justru berada di tangan masyarakat: mendukung kinerja, kesehatan, dan suasana hati sang ibu.
Memberikan ruang bagi seorang ibu untuk meredakan segala penat tentu sangat diperlukan. Me time, istilahnya. Meskipun sudah memiliki anak, ibu tetap membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri. Tak sampai di situ, dukungan dari masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang sehat sangat diperlukan. Ibu membutuhkan lingkungan yang tetap membuatnya merasa bahagia di sela-sela rasa lelahnya.
Di sisi lain, akses yang mudah terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan mental sangat diperlukan. Mulai dari akses ke layanan psikolog klinis secara daring dan dengan harga terjangkau, kemudahan penggunaan layanan kesehatan seperti BPJS, serta fasilitas daycare di berbagai wilayah untuk membantu ibu yang harus bekerja di luar rumah.
Sayangnya, beberapa masyarakat masih tertinggal di belakang. Mereka masih terus berpikir bahwa ibu berkewajiban mengurus anak, suami, dan rumah. Sementara suami hanya perlu bekerja mencari nafkah. Ketika tanggung jawab rumah tangga dibebankan sepenuhnya pada perempuan, maka beban yang ia pikul menjadi berlipat ganda. Akibatnya, kesehatan mental dan fisik ibu terancam, yang pada akhirnya juga berdampak pada kualitas pengasuhan anak serta keharmonisan keluarga.
Kesetaraan peran dalam keluarga menjadi kunci penting. Suami perlu mengambil bagian aktif dalam urusan domestik, bukan sekadar membantu, tetapi benar-benar berbagi tanggung jawab. Anak-anak pun sejak dini bisa diajarkan untuk berkontribusi sesuai usianya, sehingga rumah menjadi ruang tumbuh yang sehat bagi semua anggota keluarga.
Lebih jauh, masyarakat juga berperan dalam menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan. Lingkungan kerja yang ramah ibu, kebijakan cuti melahirkan yang layak, hingga adanya komunitas pendukung bisa membuat ibu merasa tidak sendirian. Dengan begitu, identitas “tangguh” yang dilekatkan pada seorang ibu tidak lagi menjadi beban semata, melainkan benar-benar sejalan dengan kesejahteraan dirinya.
Referensi:
Irfani, F. (2025). ‘Mamah tidak rela hidup terus-terusan susah’–Kisah Ibu dan Dua Anak di Kabupaten Bandung Mengakhiri Hidup Diduga Karena Tekanan Ekonomi. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd9yn91wdj9o
Suwijik, S. P., & A’yun, Q. (2022). Pengaruh Kesehatan Mental dalam Upaya Memperbaiki dan Mengoptimalkan Kualitas Hidup Perempuan. Journal of Feminism and Gender Studies, 2(2), 109-123. https://doi.org/10.19184/jfgs.v2i2.30731
Townsend, H. (2024, July 23). “She Was Feeling Overwhelmed at Home Caring for Her Children”: Expectations of “Intensive Motherhood” as a Risk Factor for Young Women’s Suicide. Violence Against Women. Advance online publication. https://doi.org/10.1177/10778012241265365