
Kasus kekerasan terhadap perempuan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Banyak bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran dalam rumah tangga. Berdasarkan data dan monitoring LRC-KJHAM tahun 2020 tercatat 161 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi, artinya setiap perempuan rentan mengalami kekerasan. Dari beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak ialah kasus kekerasan seksual yaitu sebanyak 125 kasus kekerasan seksual terjadi di Jawa Tengah.
Salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan ialah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dari data monitoring LRC-KJHAM dari bulan April sampai Desember 2020 terdapat 11 kasus kekerasan berbasis cyber. Dari hasil monitoring tersebut, beberapa kasus kekerasan berbasis gender online juga mengadukan secara langusng kasusnya ke LRC-KJHAM, salah satu bentuknya ialah penyebaran video dan foto fulgar perempuan korban kekerasan seksual. Bentuk dari kekerasan berbasis cyber yang sedang menjadi tranding topic ialah penyebaran video fulgar a.n GA salah satu public figur di media entertainment di Indonesia. Penyebaran video tersebut sudah melanggar hak privasi dan hak seksual individu melalui media sosial.
Merespon hal tersebut, LRC-KJHAM, mengadakan BinarPuan#7 dengan tema perempuan dalam Puasaran Media dan Teknologi, dalam kegiatan tersebut turut mengundang Narasumber dari latarbelakang yang berbeda-beda. Kegiatan yang bertujuan sebagai berikut, diantaranya mendiskusikan fakta-fakta kasus Kekerasan Berbasis Gender Online seksual, mendikusikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2006 tentang Pornografi yang mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual, dan membangun perspektif media dan masyarakat terkait kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam kasus GA.
Narasumber untuk mencapai tujuan BinarPuan#7 ini ialah, yang pertama Nihayatul Mukharomah, S.H yang akan memaparkan tentang memaparkan tentang fakta-fakta kekerasan seksual berbasis cyber, yang kedua Sri Nur Herwati membincang terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2006 tentang Pornografi yang mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual, selanjutnya narasumber yang ketiga Edi Faizal, yang akan menjelaskan tentang pemberitaan media terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan kode etik jurnalistik.
Nihayatul Mukharomah sebagai Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM menjelaskan tentang fakta-fakta kekerasan seksual berbasis cyber bahwa perempuan korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) mengalami banyak tantangan dan hambatan diantaranya tidak berani menolak permintaan pelaku karena ada ancaman penyebaran gambar maupun video, Perempuan korban KBGO, masih banyak pertimbangan ketika ingin melaporkan pelaku. Khawatir gambar atau video akan semakin disebar luaskan, Perempuan korban KBGO yang memilih proses hukum, ada kesulitan dalam hal alat bukti penyebaran gambar atau video (hasil labfor). Berdasarkan fakta tersebut, Niha panggilan akrabnya memberikan beberapa rekomendasi terkait KBGO yaitu Perlu adanya undang-undang yang bisa melindungi perempuan korban kekerasan berbasis cyber, Perlu mengkaji ulang adanya undang-undang yang masih mengkriminalkan perempuan korban kekerasan berbasis cyber.
Narasumber selanjutnya ialah Sri Nurherwati yang merupakan komisioner Komnas Perempuan 2010-2019, menjelaskan tentang UU Pornografi yang mencangkup definisi Pornografi Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,bunyi,gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya, Melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, Memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yg langgar norma kesusilaan. Selain definisi, Nurher panggilan akrabnya juga menjelaskan tentang tujuan UU Pornografi Melindungi tatanan kehidupan masyarakat Hormati, lindungi dankelestarian seni, budaya, adat istiadat dan ritual agama yg majemuk, Pembinaan moral dan akhlak dalam masyarakat, Jaminan kepastian hukum dan perlindungan bg WN dari pornografi terutama perempuan dan anak, Mencegah berkembangnya prnografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Pasal 4 dalam UU Pornografi yang menjerat perempuan korban KBGO, menyebutkan bahwa Produksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbe;ikan, menyewakan, menyediakan pornografi, penjelasan: membuat—tidak termasuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, Eksplisit, Memuat: persenggamaan termasuk yg menyimpang, KS, masturbasi/onani, ketelanjangan, alat kelamin, pornografi anak. Larangan yang dimaksud dalam pasal 4 ialah larangan meminjamkan atau mengunduh, larangan mmemperdagangkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan (penjelasan: tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri kecuali diberi kewenangan), larangan mendanai atau memfasilitasi, larangan dengan sengaja/atas persetujuan menjadi objek atau model, larangan menjadikan orang lain sebagai objek/model pornografi-tidak dipidana jika dipaksa/ancaman/di bawah kekuasaan/tekanan/tipu daya/dibohongi orang lain, larangan mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum.
Selain itu, Nurher juga menjelaskan implementasi-perangi industri Pornografi berdasarkan kajian Komnas Perempuan terhadap UU Pornografi yang hanya menyasar pada pelaku yang bukan untuk kepentingan industri pornografi, kepemilikan untuk kepentingan sendiri. Pelanggaran pada pemegang konten pornografi-Negara harusnya menjamin konten kepentingan sendiri (Pasal 28F, 28D, 28G, 28I UUD Negara Republik Indonesia 1945 bebasa dari kekerasan, keamanan harta dan properti pribadi).
Perlindungan Hak Asasi Manusia juga diatur dalam Undang-undang ITE, yang menyebutkan bahwa Pasal 27 ayat (1) mensyaratkan dua unsur penting yakni pelakunya dalam melakukan perbuatan terkait dokumen elektronik dengan sengaja dan tanpa hak dan isi dokumennya terkait tindak a susila. Unsur sengaja dan tanpa hak mengandung makna perlindungan bagi pelaku. tindak asusila cenderung berbalik akibat budaya masyarakat yang permisif,minim pengetahuan dan cenderung menganggap sebagai aib,sehingga unsur hak seseorang diabaikan. Namun dalam praktiknya UU ITE digunakan digunakan sebagaimana UU kriminal lainnya, SOP aparat penegak hukum —mencari unsur dan bukti, bagi perempuan—perlindungan masih minim, perempuan korban KS dalam KBGO rentan dikriminalisasi oleh UU ITE. Sebenarnya yang harus dipidana terkait dengan KBGO ialah orang yg memanfaatkan untuk merusak tatanan masyarakat, meruntuhkan integritas seseorang—jaminan perlindungan oleh negara industri pornografi.
Narasumber selanjutnya ialah Edi Faizal selaku perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Semarang menjelaskan bahwa Jumlah kasus perempuan di dalam dunia digital ini memang menjadi keresahan kawan-kawan jurnalis khususnya Aji. Dalam persoalan ini menjadi perpecahan paradigma jurnalis Aji tidak mengakui infotemen menjadi bagian jurnalistik dan ada yang mengajui bahwa infotemen bagian dari junalis. Perempuan posisnya menjadi korban. Di indoneisa menjadi salah satu negara dengan kasus tertinggi se-Asia tenggara Lebih dari 43.000 media digital/online, yang terverifikasi baru 168. Media digitalisasi ini terbawa arus media sosial. Media sosial ini yang kebebasan ekspresinya tdak terkontrol. Keberadaan arus informasi yang memunculkan puluhan ribu media online yang terbawa arus media online.
Pemberitaan dalam kapasitasnya perempuan profesi lebih cenderung di plesetkan sebagai di eksploitasi lagi untuk dijadikan objek pemberitaaan, contoh bagaimana seorang kapolri sedang bertugas, justru media menampilkan ajudan yang cantik itu. Di era revolusi industri digital menjadikan perempuan sebagai objek dan eksploitasi untuk kepentingan bisnis dan industri. Kadang jurnalis sering bertengkar terkait redaksi yang viral di medsos apa. Ditambah kecenderungan infotemen yang tdak ada kaitannya dengan pubik, karena lebih menyorot pada privasi, keluarga.
Bagaimana Pemberitaan kasus GA yang jadi tersangka, bagaimana media memberitaan. Dengan sikapnya AJI. Yang kami lihat di media TV dan medsos, Kasus yang menjerat kasus GA secara ugal-ugalan mengeksplotasi lagi. Banyak menutup narasumber tunggal yang perlu dikaji ulang. Sehingga ini menjadi memojokkan GA dari sejak awa, korban kedua jadi tersangka, korban ketiga jadi pemberitaan media belum lagi dampaknya pada keluarga terutama anaknya.
Dalam kasus GA ini perspektifnya Aji dalam UU ITE seharusnya yang ditangkap penyebar pertama sehingga sampai menyebar di medsos. Ini sepeti kasusnya Aril semakin di tekan oleh sosial, pada akhirnya dia jadi tersangka dan divonis hukuman. Adahal dia mengleksi untuk kepentingan pribadi tanpa merugikan pihak manapun. Ini pada akhirnya ketika pornografi semakin di kekang maka penasaran publik semakin tinggi. Beda dengan negara lain yang meberikan kebebasan dan perlundungan kebebasan berekspresi sangat dilindungi. Sebelum adanya kasus ini memang kecenderungan publik dan bilik redaksi mengeksploitasi perempuan sebagai objek industri ada sejak awal.