LRC-KJHAM – LBH Apik Aceh – Talita Kum – Truk F
8 Maret 2024

Disahkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), menjadi angin segar untuk perlindungan korban kekerasan seksual baik usia anak maupun dewasa. Pasca disahkannya UU TPKS, dalam kurun waktu Desember 2022 sampai dengan November 2023 kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah Aceh, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tercatat sebanyak 120 kasus, dengan korban 120 orang dan 118 pelaku. Kasus tersebut bersumber dari penanganan kasus di LBH Apik Aceh dengan jumlah 25 kasus, Talita Kum 14 kasus, LRC-KJHAM Semarang 33 kasus dan Truk F NTT 48 kasus. Berdasarkan usia korban kekerasan seksual lebih banyak dialami usia anak dengan jumlah 64 korban, lalu 50 korban usia dewasa dan 1 korban tidak diketahui usianya. Sedangkan pelaku didominasi usia dewasa dengan jumlah 92 pelaku, 18 pelaku anak dan 7 lainnya tidak
diketahui usianya.


Dilihat dari relasi korban dengan pelaku lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti ayah kandung (incest), ayah tiri, kakek, tetangga, kenalan, pacar, mantan pacar, teman, dan lainnya. Ranah terjadinya kekerasan seksual tidak hanya di ranah domestik tetapi juga terjadi di ranah publik.


Dari 120 kasus kekerasan seksual, hanya 3 kasus yang diproses menggunakan undang-undang TPKS. 1 kasus di NTT sudah masuk proses persidangan, 2 kasus di Jawa Tengah, 1 kasus telah putus menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak junto restitusi Pasal 64 UU TPKS dan 1 kasus korban dewasa saat ini masih dalam proses penyelidikan di kepolisian. Walaupun undang-undang TPKS telah disahkan kurang lebih 1,5 tahun. Namun belum mampu membawa perubahan terhadap pemenuhan hak-hak korban atas penanganan, pelindungan dan pemulihan. Hal tersebut masih menjadi tantangan bagi semua pihak. Untuk kasus kekerasan seksual korban dewasa, ditemukan bahwa penyidik menyatakan unsur Pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak jauh berbeda dengan KUHP. Masih ada penyidik yang belum mengetahui UU TPKS, penyidik bahkan mengatakan belum ada aturan turunan dan ragu untuk menerapkan UU TPKS. Belum lagi stigma “suka sama suka”, penyidik masih melakukan upaya mediasi terhadap kasus kekerasan seksual.


Di Nangroe Aceh Darussalam penyelesaian kasus kekerasan seksual masih menggunakan Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sehingga Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa di Implementasikan di Aceh. Tidak semua jenis tindak pidana kekerasan seksual dikenal sebagai tindak pidana dalam Qanun, sehingga belum mampu memberikan efek jera terhadap pelaku. Hal ini membuat korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan.


Penyelesasian kasus kekerasan seksual menggunakan hukum adat masih ditemukan dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh Truk F NTT, dimana kasus perkosaan anak yang pelakunya masih memiliki hubungan darah selain proses hukum pidana juga proses hukum adat. Tokoh adat melakukan upacara pembersihan kampung dan kasus ini dianggap aib bagi masyarakat Desa setempat. Pada upacara ini tokoh adat mengabaikan kerahasiaan korban, seperti korban diarak dan diinterogasi di depan warga masyarakat lain sehingga korban merasa benar-benar dihakimi, dianggap aib dan merasa diasingkan yang berdampak pada semakin terpuruknya kondisi psikologis korban. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan wilayah Aceh kasus kekerasan seksual lebih banyak diselesaikan secara damai dan menggunakan hukum adat tanpa proses pidana. Penyelesaian menggunakan mekanisme adat biasanya akan ada denda
sebagai tutup mau korban/ Desa.


Korban dengan Keragaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG) tidak mendapatkan akses layanan dan keadilan, stigma dan diskriminasi yang masih banyak terjadi du Indonesia terhadap keragaman seksual dan identitas gender menjadi salah satu penyebab dimana korban kesulitan untuk mendapatkan akses layanan dan mendapakatkan keadilan. Faktanya semua korban KSIG yang didampingi oleh Talita Kum hanya berhenti di proses konseling saja. Rasa takut distigma, didiskriminasi dan mendapatkan kekerasan berlapis dari berbagai pihak membuat korban harus menanggung dan menyimpan segala kesulitan dan penderitaan yang dialami.

Maka, Komitmen untuk meminimalisir kasus kekerasaan seksual harus konkrit. Mengingat masih tingginya angka kasus kekerasan seksual di berbagai wilayah di Indonesia, walaupun UU TPKS telah disahkan. Berdasarkan situasi tersebut maka, rekomendasi yang harus dilakukan adalah sebgai berikut:
Pemerintah Pusat :
a. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak RI :
Segera menerbitkan 7 peraturan pelaksana Undang-undang TPKS, khususnya (a) Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (b) Peraturan Presiden tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak
b. Kapolri
Segera mengeluarkan surat edaran untuk memastikan seluruh Unit PPA menggunakan undang-undang TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual dan memastikan hak restitusi korban kekerasan seksual terpenuhi dari mulai proses penyidikan
c. Kementerian Kesehatan
Segera menyediakan anggaran untuk penanganan layanan medis bagi perempuan korban kekerasan seksual
d. Kejaksaan Agung
Memastikan implementasi Pedoman Nomor 1 tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana
e. Mahkamah Agung
Memastikan setiap hakim khusus yang memeriksa korban kekerasan seksual memastikan menggunakan perma nomor 3 tahun 2017

Narahubung :
lrc_kjham2004@yahoo.com