Adanya UU TPKS yang progresif membutuhkan gerak penegak hukum dan masyarakat yang progresif pula. Sebab, kapal penyelamat itu masih membutuhkan nahkoda-nahkoda yang bisa menyetirnya dari hulu ke hilir.
Sembilan hari sebelum peringatan hari Kartini, masyarakat rentan Indonesia mendapat kado terindah sepanjang tahun ini; pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) setelah menanti perjalanan sekian tahun. Beberapa ada yang menangis haru ketika UU TPKS ini ketuk palu, ada yang bersorak sorai di media sosial, ada pula yang berteriak puas, hari itu begitu cerah, terutama bagi korban kekerasan seksual.
Kita sebagai masyarakat memang butuh payung hukum terkait tindak kekerasan seksual, terbukti dari data yang bahkan cuma sebatas gunung es, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021. Dari data tersebut, Komnas Perempuan menyatakan setidaknya ada tiga kasus kekerasan seksual dalam kurun tiga jam saja. Di Jawa Tengah, berdasarkan data dari LRC-KJHAM di tahun 2021 ada 85 kasus kekerasan terhadap perempuan, dari 85 kasus tersebut, 34 diantaranya ialah kasus kekerasan seksual.
Maka tak heran, kehadiran UU TPKS bak kapal penyelamat dari air bah kotor bernama ‘kekerasan seksual’. Memang, salah satu cara untuk melakukan perubahan untuk pengarus utamaan gender, dalam hal ini penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, salah satu yang signifikan yakni melalui perubahan hukum yang progresif, namun adanya UU TPKS yang progresif membutuhkan gerak penegak hukum dan masyarakat yang progresif pula. Sebab, kapal penyelamat itu masih membutuhkan nahkoda-nahkoda yang bisa menyetirnya dari hulu ke hilir.
Hal lain yang mesti diingat, meskipun sudah memiliki kapal besar yang menjadi juru selamat dari bah, badai dan ombak masih bisa menerjang. Badai dan ombak ini yang dikhawatirkan terjadi; ketika UU TPKS gagal diimplementasikan dengan sempurna.
Dalam kenyataannya, kebijakan publik tetap dapat risiko untuk mengalami kegagalan. Hogwood dan Gunn (1986) (dalam Wahab, 2014) mengelompokkan kegagalan implementasi kebijakan tersebut dalam dua kategori, yaitu:
1. Non implementation
Mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Hal ini bisa terjadi karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang dikerjakan diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga walaupun usaha mereka sangat gigih, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang sempurna tidak terpenuhi.
Perihal UU TPKS, kita mesti mengawal bagaimana aparat negara mampu menangani kasus kekerasan seksual sebagaimana mestinya; berpihak pada korban dan memberikan hak-hak korban tanpa terkecuali sesuai amanat UU TPKS.
2. Unsuccesful implementation
Kebijakan bisa gagal ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun karena kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Kebijakan memiliki resiko gagal karena faktor pelaksanannya buruk (bad execution), kebijakannya sendiri buruk (bad policy), atau memang kebijakan itu bernasib jelek (bad luck).
UU TPKS sendiri masih menyisakan pasal yang akan dibahas di pembahasan RKUHP, yakni soal perkosaan dan pemaksaan aborsi, keduanya mesti bisa diakomodasi sehingga kebijakan dapat disempurnakan. Kemudian, faktor pelaksanaan dari UU TPKS mesti diawasi sedemikian rupa, jangan sampai korban masih memiliki ketakutan untuk melapor.
Oleh karena itu, kita sebagai kesatuan nahkoda kapal penyelamat bernama UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 mesti menjaga kapal ini beserta penyintas di dalamnya untuk berlayar jauh menghadapi rintangan badai ombak yang menerpa, kita bertahun-tahun bersama membangun kapal ini sebab kita butuh tempat bernaung menerjang bah, tetapi kapal ini juga membutuhkan kita agar bisa mengarungi badai, menuju ruang aman yang bebas dari predator kekerasan seksual.
Penulis: Luthfi Maulana Adhari (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, UNDIP)
Referensi:
Wahab, Solichin Abdul (2014) Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara
Komnas Perempuan (2021). CATAHU 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19. https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2021-perempuan-dalam-himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19 (diakses pada 24 Mei 2022).