
Pemantik : Umi Hanik

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berkaitan dengan kehidupan sosial tetapi juga agama, politik, budaya dan ekonomi. Dimana kehidupan antara laki laki dengan perempuan dalam keadaannya mengalami ketimpangan relasi sosial. Pada kenyataannya kehidupan sosial masyarakat diwarnai dengan ideologi kultural, struktur masyarakat dan pola relasional yang menjadi pandangan sekaligus tatanan dalam bermasyarakat. Ketika tatanan hidup masyarakat yang telah ada terpengaruh oleh budaya patriarki yang mengakar menaruhkan posisi perempuan menjadi terendah dan laki laki sebagai superior. Perempuan hanya diibaratkan konco wingking dalam bahasa jawa atau istilah Macak, Manak dan Masak (3 M) yang menyebabkan perempuan dibatasi dalam ranah publik mereka dianggap tidak mampu dalam hal pengetahuan dan keterampilan.
Hal tersebut dikarenakan adanya stratifikasi sosial yang telah mengakar dan berbalut budaya dalam masyarakat. Dalam proses interaksi di masyarakat hal status peran dan kedudukannya perempuan mendapatkan posisi terendah daripada laki-laki yang dianggap unggul diatasnya. Sehingga ketika perlakuan terhadap perempuan itu terus diterapkan tanpa adanya perubahan, perempuan akan menjadi di eksploitasi oleh mereka yang dominan yakni laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh beberapa hal yakni budaya patriarki, tafsir agama, previlese dan permisif. Namun, akar kekerasan terhadap perempuan yang terus ada dikarenakan budaya patriarki yang sulit dihapuskan di masyarakat. Feminisme sendiri terdapat beberapa perspektif yang digunakan oleh para tokoh dalam pendapat mereka yakni feminis liberal, feminis radikal, feminis sosial dan feminis psikoanalisis.
Sejarah Hak Asasi Manusia tentang Perlindungan Perempuan
Pada zaman kolonial perempuan dianggap sekunder yang tidak mempunyai otonomi. Dalam sektor publik mereka tidak memiliki kewenangan sama sekali segala sesuatunya diatur oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan terdapat anggapan perempuan belum menikah menjadi tanggungjawab orang tua tetapi ketika sudah memiliki suami menjadi tanggungjawab sekaligus milik suaminya sehingga jika terjadi kekerasan atau pelanggaran perlindungan perempuan tidak dianggap serius. Selain itu, budaya patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah derajatnya daripada patriarki telah menjadi kepercayaan dalam masyarakat.
Upaya meningkatkan kedudukan perempuan juga terjadi di tingkat dunia. Setelah berakhirnya perang dunia kedua berdiri PBB yang berakhir dengan adanya piagam PBB berisi persamaan hak laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1948 DUHAM diadopsi Majelis Umum (MU) PBB lahir sebagai instrumen HAM yang intern mengenai aspek kedudukan perempuan dalam keluarga. Konvensi Hak Politik Perempuan 1953 dalam UU No 68 tahun 1956. Terjadi Konferensi tahunan Perempuan di Mexico tahun 1975 yang mengakomodir pemikiran perempuan yang terdiskriminasi. Peraturan diskriminasi perempuan tahun 1979 MU PBB mengadopsi CEDAW tahun 1979 menghasilkan diskriminasi perempuan sebagai bentuk ketimpangan. Konferensi dunia tentang perempuan dan forum LSM tahun 1985 dan 1990 berdampak pada kelompok HAM di PBB. Deklarasi Wina dan kerangka aksi 1993 menghasilkan konsep HAM baru melihat HAM secara integral dan universal. Konsep Hak Asasi Perempuan sebagai HAM Universal. PBB mengenai Hak Asasi Perempuan diintensifikasi pada pemerintah LSM organisasi wujud perlindungan perempuan pada konferensi keempat di Beijing tahun 1995 dalam 12 area kritis Hak Asasi Perempuan.
Penulis : Anggita (Anak magang dari Universitas Islam Negeri Walisongo)