BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
SERI 1

Oleh:
SRI NURHERWATI,S.H.[1]
Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berdasarkan Perpres 65 Tahun 2020 mempunyai layanan mediasi kepada kasus kekerasan terhadap perempuan. Penambahan tusi tersebut diharapkan mampu memperkuat dan mempercepat upaya negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan anak sebagaimana mandat CEDAW. Namun kebijakan menjadikan mediasi sebagai layanan dalam pelaksanaan tusi layanan mediasi harus penuh dengan kehati-hatian dan mempertimbangkan bahwa sesungguhnya mediasi merupakan cara alternatif penyelesaian perkara.
Layanan mediasi membutuhkan aturan yang memberikan arah tujuan bagi KPPPA sebagai layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Layanan mediasi yang diberikan oleh UPTD harus menghindari terjadinya kemunduran dan boomerang tujuan regulasi yang seharusnya melindungi perempuan korban menjadi pembungkaman perempuan korban mendapatkan keadilan. Sehingga menyebabkan tusi layanan mediasi sendiri yang akan menimbulkan resiko menghambat pencapaian tujuan penambahan Tusi tersebut. Menurut Mahkamah Agung R.I, mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan dan berkeadilan. Mediasi merupakan elemen pendukung peradilan di Indonesia untuk meningkatkan akses msyarakat. Hukum acara perdata mendorong Para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang didayagunakan melalui Mediasi yang terintegrasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan.
SPPT-PKKTP telah menjadi Program Prioritas Nasional sejak tahun 2018 guna mendukung pencapaian RPJMN 2020-2024 mewujudkan kesetaraan gender dan mendorong terwujudnya SDG’s (tak ada pihak yang ditinggalkan). Oleh karenanya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga mendorong pelaku bertanggung jawab secara hukum atas kekerasan yang telah dilakukannya kepada korban agar mampu memenuhi hak korban secara komprehensif.
- Pandangan Internasional Terhadap Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Menurut Kajian Komnas Perempuan[2], RJ lahir dari ketidakpuasan atas sistem hukum formal dan ada keinginan merawat hukum kebiasaan/adat/tradisional sehingga memunculkan cara alternatif dalam penyelesaian masalah kriminalitas. Akan tetapi, kasus kekerasan terhadap perempuan membutuhkan prakondisi ketat penerapan RJ, mengingat budaya patriarkhi yang menggunakan relasi kuasa sebagai akar masalah. Dalam kasus KDRT memperhatikan hal-hal sebagai berikut dalam pengetatan prakondisi menjadi penting yaitu: (a) membutuhkan jaminan kepastian kekerasan harus dihentikan dimana alasan korban memilih cara RJ karena ingin keluar dari KDRT dan rumah tangga aman dari perceraian, (b) pelaku harus ambil tanggung jawab, dimana dalam kasus KDRT pada umumnya pelaku/keluarganya memaksakan korban untuk menyelesaikan secara damai untuk menghindari tanggung jawab secara hukum dan juga sosial, (c) pelaku merupakan satu-satunya pihak yang bersalah, sementara reviktimisasi terhadap korban di masyarakat dan perempuan disalahkan atas KDRT/kekerasan yang dialaminya, dan (e) proses hanya bisa dijalankan melalui perjanjian dengan korban, adanya prosedur yang memastikan JR atas dasar kerelaan korban dengan dukungan mekanisme rujukan, konseling/terapi bagi para pihak, training yang komprehensif bagi mediator, proses harus dipandang sebagai opsi bagi korban JR akan lebih baik dibanding proses pengadilan, selama ini perempuan korban yang menolak damai dianggap sebagai perempuan yang tidak tahu diri dan dikenai stigma lainnya. Akan tetapi, penerapan RJ dalam kasus kekerasan terhadap perempuan menurut UN Handbook For Legislation On VAW secara eksplisit melarang mediasi dalam berbagai kasus. General Recomendatie 33 Komite CEDAW tentang Akses Perempuan pada Keadilan menyatakan:”Dalam poin ADR (Alternative Dispute Resolution) disebutkan untuk memastikan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, tidak dalam situasi apapun untuk dapat disebut sebagai ADR”. Dengan demikian dipahami bahwa ADR tidak memungkinkan dapat diterapkan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Dokumen UNOHCHR [3] justru mengingatkan bahayanya Restorative Justice dalam kasus KtP, baik dilakukan secara formal maupun non formal. Resiko yang harus dihadapi perempuan korban mengalami diskriminasi terhadap perempuan dimana perempuan korban mengorbankan haknya demi menjaga harmonisasi sosial dan akibat timpangnya relasi kuasa antara korban dan pelaku beresiko merugikan korban jika menekan proses sementara mekanisme tidak siap.
- Praktek Mediasi di Luar Peradilan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Pada tahun 2018, Komnas Perempuan bersama KPPPA melakukan kajian monitoring dan evauasi implementasi UU PKDRT dimana dalam salah satu FGD membahas mediasi. Dalam FGD tersebut[4] terungkap praktek perdamaian mempunyai ruang dalam mediasi, peran pendamping yang seharusnya memperkuat posisi korban justru menjauhkan terpenuhinya hak korban. Pendamping memposisikan sebagai pihak yang netral dan bias dalam keberpihakan bagi korban. Perdamaian dalam ruang mediasi melindungi kepentingan hukum, memudahkan kepentingan mengurangi penumpukan perkara dan kelemahannya menguatkan impunitas pelaku. Praktik perdamaian saat ini berbasis pada pandangan kasus kekerasan terhadap perempuan bukan kasus penting, tidak prioritas, bersifat individual. Pandangan tersebut melahirkan anggapan KDRT merupakan delik aduan, penyelesaiannya demi menjaga keharmonisan rumah tangga, demikian pula dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang penanganannya belum sinkronkan dengan tindak pidana lain misalnya perempuan korban perdagangan narkoba tidak dipandang sebagai TPPO sehingga jaminan perlindungan korban TPPO dari kriminalisasi tidak terwujud. Apalagi dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang belum ditangani secara komprehensif dan masih dianggap aib atau perempuan korban masih diposisikan sebagai pelaku zina, perbuatannya dikategorisasi “suka sama suka” sehingga pelaku impunitas/bebas dari pertanggung jawaban hukum. Kondisi tersebut disebabkan praktek perdamaian belum menggunakan CEDAW sebagai ruh pelaksanaan, dimana kebijakan penanganan harus menghapuskan diskriminasi dan melindungi perempuan korban. Upaya perdamaian digunakan untuk menghentikan kasus yg berujung impunitas kpd Pelaku, atas nama harmonisasi dalam keluarga/masyarakat dan menyalahkan korbannya. Hasil perdamaian menghasilkan kesepakatan yang bukan win-win solusi sehingga tidak memulihkan korban.
Penanganan yang tidak menggunakan CEDAW sebagai landasan dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, belum ada kebijakan mengenai mediasi yang melihat kondisi korban dan mewujudkan pemulihan korban telah menumbuhkan simpton kekerasan terbaru dalam penanganan. Kekerasan dianggap tidak terjadi lagi sementara Pelaku malah makin berani melakukan kekerasan. Bila korban mengalami kekerasan berulang mendapatkan penolakan baik dari masyarakat terutama keluarga maupun penegak hukum.
Beberapa praktek perdamaian yang dilakukan dianggap berhasil, namun harus dilihat apakah kasusnya merupakan kekerasan terhadap perempuan atau merupakan konflik yang melibatkan laki-laki dan perempuan tanpa ada ketimpangan relasi kuasa. Upaya perdamaian dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dengan ketimpangan relasi kuasa sangat beda karakteristik dengan konflik laki-laki dengan perempuan tanpa ketimpangan relasi kuasa ( baca: salah paham, beda karakter, komunikasi tidak lancar, dll)[5]
Masyarakat dan pendamping menghadapi kerancuan memahami dan menjalankan perdamaian. Sementara tidak semua perdamaian yang dilakukan dapat disebut sebagai mediasi karena tidak memenuhi syarat mediasi bahkan terjadi kerancuan antara mediasi dengan perdamaian dalam Keadilan Restorative/Restoratif Justice (RJ) dan Diversi. Sehingga situasi korban menghadapi kebuntuan sejak di awal penanganan. Mediasi yang sesungguhnya adalah perdamaian justru menjadi metode “penyela” anti klimaks dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang hendak memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur ketentuan RJ dan Diversi namun dalam pelaksanaannya pun belum memberikan keadilan kepada anak terutama anak perempuan korban kekerasan yang menjadi tersangka.
[1] Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan 2010-2019, Ketua Yayasan Sukma , Advokat Klinik Hukum Ultra Petita, dan tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan dalam Standard Layanan Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang dibuat KPPPA guna menjaga marwah perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
[2] Komnas Perempuan. 2018. “Kajian Restoratif Kustice Dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan”.Jakarta:Komnas Perempuan.
[3]Lihat:https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Women/SR/Shelters/UN%20Women%20by%20Cheryl%20_%20Team_working%20with%20justice%20sector.pdf
[4] Komnas Perempuan-KPPPA-UN Women. 2018. “Kajian Urgensi Mempercepat Optimalisasi dan Efektifitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Jakarta:UN Women.
[5] Pelatihan Penanganan Kasus KDRT melalui daring yang diselenggarakan KPPPA pada tanggal 18 April 2021.