Pada tanggal 23 Oktober 2021 Live Instagram LRC-KJHAM dengan tema “#Percumalaporpolisi; dimana kehadiran negara untuk korban kekerasan seksual? Kita butuh UU penghapusan kekerasan seksual yang pro Korban!”

Kekerasan seksual lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Seperti ayah kandung, ayah tiri, dimana yang seharusnya memberikan perlindungan kepada perempuan, justru membuat korban tidak aman. Artinya Negara tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Perempuan korban kekerasan seksual masih mengalami banyak hambatan. Korban tidak banyak yang berani melapor karena khawatir terungkap, prosesnya ribet, ketika wira-wiri juga repot. Dari 90 korban kekerasan seksual hanya 1 kasus yang selesai sampai putusan pengadilan, tutur Yaya Direktur LRC-KJHAM.

Selanjutnya yaya menjelaskan bahwa polisi mempunyai kewajiban perlindungan hukum, penyelidikan, penyidikan. Telah ada perkab polri nomor 3 tahun 2009 dan telah dibentuk unit PPA di kepolisian. Sampai saat ini RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga terus di dorong bersama baik melalui kampanye maupun diskusi-diskusi.

Korban kekerasan seksual tidak dapat diabaikan dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi perempuan. Ketiadaan payung hukum yang secara kusus melindungi perempuan korban kekerasan seksual seksual. Maka akan semakin memperburuk situasi korban. Korban tidak mendapatkan hak perlindungan, hak atas keadilan maupun pemulihannya. Bahkan korban bisa semakin bertambah karena tidak ada sanksi untuk pelaku kekerasan seksual.    

Harapan kepada masyarakat bahwa dengan sulitnya penanganan kekerasan seksual maka butuh keberanian untuk menyuarakan suara korban, memberikan pengetahuan dan saling peduli.   

Penulis : Witi Muntari LRC-KJHAM