“Perempuan Koban Kekerasan dalam pusaran Covid-19 dan Bencana Ekologis”

Kampanye hari perempuan Internasional dilakukan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya. Hari Perempuan Internasional adalah peristiwa bersejarah yang menjadi akar gerakan perempuan yang diinisiasi oleh gerakan perempuan di tahun 1900an. Kampanye masih terus dilakukan hingga saat ini, untuk menyuarakan berbagai pelanggaran hak asasi perempuan yang masih terus terjadi. Termasuk kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah besar dalam penegakan hak asasi perempuan. Dari data monitoring LRC-KJHAM di Jawa Tengah, di tahun 2020 tercatatat 151 kasus dengan jumlah korban 156. Berdasarkan data penanganan kasusdi LRC-KJHAM, trend kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahunnya.. Pada tahun 2018, terdapat 74 kasus kekerasan terhadap perempuan, tahun 2019 meningkat menjadi 84 kasus dan tahun 2020 meningkat menjadi 96 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan tersebar di beberapa kabupaten/ kota di Jawa Tengah. Sebaran kasus tertinggi yaitu di Kabupaten Semarang, kedua Kota Semarang, ketiga Kabupaten Banyumas, Keempat Kabupaten Demak dan kelima Kabupaten Pekalongan. Kabupaten Semarang tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan hal ini dipengaruhi adanya faktor permohonan dispensasi kawin, dimana secara keseluruhan dari calon pengantin perempuan yang di konseling adalah korban kekerasan seksual anak.

Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada siapapun, tidak memandang usia atau pekerjaan. Berdasarkan usia korban, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi pada perempuan dewasa, yaitu 90 orang atau 57% dari jumlah korban, anak-anak sejumlah 60 atau 39%, dan perempuan lanjut usia 1 orang 1% dan tidak diketahui usianya 5 orang atau 4%. Sedangkan dilihat dari sisi pekerjaan, kasus kekerasan dialami oleh perempuan dari berbagai bentuk pekerjaan, seperti perempuan pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja pabrik. Tetapi paling banyak menimpa korban yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga.

Pelaku kekerasan adalah orang-orang yang dikenal dan dekat korban.Seperti Guru, Guru Ngaji, Pacar, kenalan, Ayah tiri, teman, mantan pacar, mertua, tetangga, kakak, dosen, suami. Situasi ini menunjukkan bahwa tidak ada ruang aman bagi perempuan. Orang-orang yang dikenal, dekat bahkan yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku kekerasan. Seorang guru baik di Pendidikan formal maupun guru ngaji termasuk dosen adalah seorang pendidik yang seharusnya memberikan teladan dan contoh yang baik untuk masa depan anak-anak, tetapi justru menjadi pelaku kekerasan. Pelaku kekerasan ini banyak dilakukan oleh orang dewasa dari berbagai profesi, dari masyarakat biasa sampai pejabat negara. Dianataranya adalah buruh, pedagang, NI, POLRI, karyawan swasta, dosen, dokter, guru, PNS, dukun, perangkat desa dan sebagainya.

Kekerasan terhadap perempuan berdampak pada penderitaan bagi korbannya. Dampak yang dialami oleh korban adalah trauma, hamil, dikeluarkan dari sekolah, malu, luka fisik, percobaan bunuh diri, skizofrenia akut, dipisahkan dengan anaknya, dikucilkan, dikeluarkan dari perusahaan.

Bentuk kekerasan tertinggi hingga saat ini adalah kekerasan seksual. pada masa pandemic covid-19 saat ini kekerasan seksual pun meluas dan meningkat bentuknya yaitu kekerasa seksual online atau berbasis cyber. Bentuknya meminta korban untuk hubungan seksual, merekam atau mengambil video pada saat hubungan seksual, mengancam menyebarkan
video/foto hubungan seksual, meminta foto bugil, meminta foto vagina dan payudara korban sebagai bukti cinta, perkenalan melalui game online sedangkan penyebarannya melalui Whatshap Group. Lalu modus yang digunakan oleh pelaku dengan bujuk rayu, memberikan minuman sehingga korban tidak sadar, mengajak menginap di hotel, alasan ibadah. Kasuskasus tersebut lebih banyak terjadi di ranah publik, seperti rumah kosong, hotel, gubug.

Perempuan korban kekerasan berhak mendapatkan layanan. Dari mulai layanan konseling, layanan medis, psikologis, bantuan hukum, reintegrasi sosial dan pemulangan. Namun faktanya tidak semua korban mengakses layanan tersebut. Untuk layanan medis, hanya ada 4 korban yang mengakses layanan. Yaitu perawatan medis berupa rawat inap di rumah sakit. Untuk layanan rehabilitasi sosial, korban mengakses layanan konseling, pemulihan psikologis dan layanan shelter. Semua korban mengakses layanan konseling. Untuk Layanan psikologis, korban mengakses layanan secara online, untuk mencegah penularan Covd-19. Sedangkan layanan shelter, hanya ada 1 korban yang mengakses layanan shelter. Dalam mengakses layanan shelter di masa pandemi, korban harus dipastikan sehat dan negatif dari Covid-19. Maka dalam masa tunggu untuk mengikuti test hingga keluar hasilnya negatif dari Covid-19, korban harus dicarikan alternatif shelter. Diantaranya adalah dengan ditempatkan di rumah komunitas atau di rumah kos.

Untuk layanan bantuan hukum, tidak banyak korban yang mengakses layanan bantuan hukum dan menempuh proses hukum sampai putusan. Dari 151 kasus kekerasan terhada perempuan, terdapat 49 perempuan yang memilih proses litigasi. Dari 49 kasus tersebut, yang sampai pada putusan pengadilan hanya 12 kasus. 12 kasus tersebut adalah 9 kasus kekerasan seksual anak perempuan, 1 kasus KdRT, 2 perempuan korban kekerasan seksual yang dikriminlkan. putusan pengadilan tertinggi yaitu 15 tahun penjara pada kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Sedangkan kasus KdRT putusan pengadilan hanya 9 bulan kurungan penjara. Situasi ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan dewasa korban kekerasan seksual. Sementara itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga saat ini belum juga disahkan.

Pandemi Covid-19 juga membuat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami tantangan. Akses layanan terhambat, anggaran untuk program-program perlindungan perempuan juga banyak direalokasi untuk pencegahan dan penanganan Covid19. Korban dan pendamping korban kekerasan juga rentan mengalami penularan Covid-19.

Situasi kekerasan terhadap perempuan, diperburuk dengan berbagai kebijakan yang menyingkirkan perempuan. Pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan dan tata ruang menghilangkan mata pencaharian perempuan. Perempuan terusir dari tempat tinggalnya dari desa ke kota menjadi buruh dengan upah murah dan rentan mengalami kekerasan atau ke luar negeri menjadi buruh migran yang rentan mengalami trafficking dan kekerasan.

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan perubahan iklim berdampak pada bencana ekologis. Diantaranya banjir, tanah longsor, angin puting beliung yang akhir-akhir ini melanda beberapa wilayah di Jawa Tengah. Perempuan menjadi kelompok yang paling dikorbankan. Kehilangan tempat tinggal, kelaparan, kedinginan, sakit bahkan meninggal. Namun ruang-ruang pengambilan keputusan tetap jauh dari partisipasi perempuan yang sejati. Situasi tersebut jelas memperburuk potret pelanggaran hak asasi perempuan.

Maka di Hari Perempuan Internasional ini kami menuntut kepada negara untuk

  1. Menghapus segala bentuk diskriminasi dan akar kekerasan terhadap perempuan serta memperkuat penanganan kasus kekerasan yang teintegrasi dengan protokol pencegahan dan penanganan Covid-19.
  2. Segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi korban.
  3. Memperkuat partisipasi perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan termasuk perencanaan pembangunan berkaitan dengan sumber daya alam, lingkungan dan tata ruang.
  4. Mencabut seluruh kebijakan dan peraturan yang berpotensi memburuk situasi pemenuhan hak asasi perempuan.

Narahubung :
Citra Ayu Kurniawati (085726402796)