Oleh : Rilanda Virasma Meiprita

Sebagai perempuan yang hidup pasca gelombang demi gelombang feminisme, saya tak begitu asing mendengar protes perempuan atas beragam praktik yang dianggap tidak adil. Ideologinya tak tunggal, agak rumit dan tak perlu mendefinisikan dan menjabarkannya di sini. Tapi yang jelas, hampir semua gerakan itu sepakat bahwa hingga kini perempuan masih bersitegang dengan patriarki.

Bagi perempuan kelas menengah yang mungkin hidup di perkotaan—atau bahkan perkotaan di belahan bumi Utara—mungkin akan mengatakan bahwa dunia sudah jauh lebih baik dan mudah untuk perempuan. Tapi membicarakan perempuan, dengan hanya berfokus pada mereka yang diuntungkan secara ekonomi, sosial, dan budaya, adalah sebuah kesia-siaan dan hanya akan membuat perempuan yang setiap harinya mesti berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, pabrik, atau pekerjaan lain di luar kursi kepemimpinan dan manajerial—dengan segala risiko PHK, penyiksaan, atau kekerasan seksual—gigit jari.

Yang marginal dari yang marginal ini, sebetulnya adalah mayoritas perempuan di dunia. Merekalah sang 99%, yang tak terbiasa memilih dan kehidupannya ditentukan oleh keputusan politik yang saat ini aktornya banyak perempuan. Tapi yang masih sering saya dengar hari ini adalah, “Perempuan harus duduk di kursi kepemimpinan!” Padahal, boro-boro jadi CEO, kebutuhan hidup dalam sebulan saja belum tentu dapat dilewati tanpa mengutang.

Jika kita menengok realita hari ini, apa yang dilahirkan Puan Maharani sebagai ketua DPR? Mulusnya UU Cipta Kerja. Apa yang dikatakan menteri KLHK Siti Nurbaya pasca COP26? Deforestasi mesti gencar demi pembangunan. Dua dari sekian banyak contoh ini, jika ditelaah lebih dalam lagi, siapa yang akan paling parah terkena imbas dari produk hukum dan perspektif bermasalah para pemimpin perempuan ini? Laki-laki, tentu, perempuan, apalagi. 

Produk hukum dan kebijakan politik kita sudah se-patriarkis dan kapitalistik itu. Jika kita memasukan perempuan untuk turut merancang hukum atau menentukan kebijakan politik dengan mengikuti logika sistem yang sama, itu hanya akan memvariasikan siapa yang dominan dan siapa yang menindas. 

Lalu apa mau saya? Revolusi? Sebentar. Untuk menuju sebuah perubahan besar, saya rasa kita harus melakukan apa yang dapat dilakukan terlebih dulu. Dan saya mencoba cara-cara kecil ini lewat dua hari mengikuti Sekolah Gender yang dirancang LRC-KJHAM.

Ada banyak perspektif menarik tentang bagaimana peminggiran perempuan terjadi secara interseksional. Bukan hanya pada aspek identitas seperti gender, kelas, ras, orientasi seksual, agama, dll., interseksionalitas ini ada pada sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, dll. pula. Unsur-unsur itu saling beririsan dan melahirkan apa yang dapat disebut kekerasan berlapis dan multidimensi.

Di Sekolah Gender, saya diajak menelusuri jejak kekerasan multidimensi ini lewat perspektif hukum. Walaupun terkesan memfokuskan pada satu aspek, tetapi lewat hukum ini justru saya diajak untuk dapat menelusuri jejak penindasan interseksional itu dan mengaitkannya dengan aspek lain. 

Jika dirangkum, materinya seputar pemahaman HAM dan Hak Asasi Perempuan (HAP), instrumen seputar HAM, hukum berperspektif gender, dan kerja paralegal. Yang paling menarik terkait kekerasan interseksional ini adalah saat Siti Aminah Tardi mengampu materi bertajuk Hukum dalam Perspektif Gender. 

Seperti banyak disiplin ilmu, dan sebagaimana manusia, selalu ada penggugat atas apa yang telah mapan. Dalam hukum, dikenal paradigma kritis yang menggugat kemapanan positivisme era 1970-an di Amerika yang berasaskan liberalisme. Asas ini mengatakan bahwa hukum itu netral, hukum itu otonom, dan hukum terpisah dengan politik. Wow, sounds familiar? Gerakan itu disebut Critical Legal Studies (CLS). Gerakan ini memandang bahwa hukum merupakan produk politik kelas dan gender tertentu untuk menguasai, mempertahankan, atau mengembangkan kepentingan segelintir manusia.

Namun, karena ketidakpuasan akan beragam analisisnya yang belum berfokus pada isu ketidaksetaraan gender, lahirlah Feminist Legal Theory (FLT). Bu Ami, sapaan akrabnya, mengenalkan tiga metode hukum feminis dalam FLT: mengajukan pertanyaan kepada perempuan (asking the woman question), penalaran praktis feminis (feminist practical reasoning), dan peningkatan kesadaran (consciousness-raising). Metode ini lahir dari pandangan bahwa hukum ditulis oleh dan untuk laki-laki sehingga menghasilkan hukum yang bias gender.

Salah satu dari sekian banyak contoh hukum yang bias gender ini di Indonesia saya temui pada Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 48 yang berbunyi, “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.” dan pasal 49 (1) yang berbunyi, “Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.” Sebenarnya cukup ironis pasal ini diatur pada produk hukum yang sedang membahas HAM. Mengapa ada kata “berhak” di awal kalimat kedua pasal tersebut namun pada akhirnya ada persyaratan khusus untuk memperoleh hak itu? Dan mengapa ada persyaratan semacam itu untuk perempuan, tapi tidak laki-laki? Saya semakin sadar mengapa di sesi awal setiap pemateri, ada slide khusus untuk menekankan pentingnya memahami hak asasi bukan hanya manusia (HAM), tapi juga perempuan (HAP).

Namun jika dipikirkan lebih lanjut, lewat perspektif hukum kritis ini, yang akan kita temukan bukan hanya bias gender, tapi juga bias kelas. Seperti yang sudah saya singgung tadi, apa yang dilahirkan Puan Maharani sebagai ketua DPR perempuan ialah produk hukum yang menurut saya bias kelas. Siapa yang diuntungkan? Kapital. Siapa yang dirugikan? Kita para pekerja. Dan ketika berbicara kelas pekerja, artinya bukan hanya laki-laki saja, tapi juga perempuan. Dan ketika laki-laki saja mengalami hal ini, bagaimana dengan perempuan yang sudah lebih dulu mengalami diskriminasi berlapis?

***

Di luar materi, saya sangat bersyukur bahwa pembawaan diskusi dilaksanakan tanpa ada sekat berdasarkan umur, pengalaman, maupun zaman. Fasilitator dan pemateri memperlakukan peserta sebagai kawan diskusi, bukan semacam mahasiswa pada senior organisasi yang mesti menunduk sana-sini. Kata “tunduk” ini boleh diartikan secara bebas. 

Peserta yang terpilih pun berasal dari bidang yang berbeda-beda. Awalnya, saya kira hal itu hanya akan jadi ajang kontestasi untuk unjuk kebolehan pengetahuan masing-masing. Tapi ternyata saya hanya berburuk sangka. Dengan latar belakang yang berbeda itu, diskusi justru jadi berkembang, tak berkutat di permasalahan hukum dengan peserta yang berlatar studi hukum saja. 

Saya kira, model diskusi tanpa sekat ini mesti dibangun di manapun, entah itu di ruang formal maupun nonformal. Karena, untuk apa kita protes akan dominasi dan ketidaksetaraan tapi saat mendiskusikannya pun kita dalam posisi ketertundukan akan dominasi umur, pengalaman, atau zaman yang dilewati seseorang?