

Perbuatan pasangan dari MSD, YM dan GAT yang berstatus sebagai anggota Polri, TNI dan Pengawai Negeri Sipil yang menikah dan tidak mencatatkan dalam sistem adminsitrasi kependudukan jelas merupakan pelanggaran. Perbuatan tersebut dapat disamakan sebagai perbuatan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan. Pegawai Negeri Sipil seperti suaminya GAT, jelas larangan tinggal satu rumah merupakan pelanggaran disiplin sebagaimana “Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya tanpa ikatan perkawinan yang sah.“ Pelanggaran terhadap larangan ini dapat di kenakan sanksi disiplin.
Pejabat yang diberikan wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin adalah Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi, dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS. Pejabat yang berwenang tersebut diklasifikasikan sesuai dengan jenis hukuman yakni hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang dan hukuman disiplin berat. Untuk struktural eselon I dan fungsional di lingkungannya dapat menjatuhkan hukuman disiplin mulai dari hukuman disiplin ringan hingga berat. Sementara untuk pejabat fungsional umum golongan ruang IV/d dan golongan ruang IV/e di lingkungannya juga dapat menajtuhkan hukuman ringan, sedang dan beberapa hukuman disiplin dalam kategori penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Sama halnya dengan pasangan MSD yang merupakan anggota Polri dalam Peraturan Kapolri No. 9 tahun 2010 tentang tata cara pengajuan perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 33 menyebutkan pemberian sanksi bagi setiap anggota polri yang tidak melaksankan peraturan Kapolri tersebut. Wewenang pemberian sanksi disiplin diberikan kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum), atasan Ankum dan provost. Di lingkungan Polres atasan yang diberikan hak untuk menghukum (Ankum) adalah Polres dan Wakapolres. Sementara di Tingkat Polda Ankum adalah Kapolda, Wakapolda, Irwasda, Dir/Wadir, karo, Kabid, kasatbrimoda/Wakasatbrimobda, Ka SPN/Waka SPN, Koorsprinpim, Ka SPKT, Karumkit, kasetum dan Kayanna. Sementara untuk ditingkat mabes atasan yang diberikan hak menghukum lebih banyak lagi.[1] Bentuk penjatuhan hukuman disiplin bagi anggota Polri dberupa :
- Penjatuhan hukuman disiplin
- Penjatuhan tindakan disiplin
- Perintah kepada provos polri untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran disiplin dan
- penyelenggaraan sidang disiplin
Untuk anggota TNI sendiri seperti pasangan YM. Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/11/VII/2007, menyatakan seorang Prajurit yang akan melaksanakan pekawinan wajib mendapatkan izin dari atasannya. Selain itu, Menteri Pertahanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 tahun 2008 tentang perkawinan, percerian dan rujuk bagi pegawai dilingkungan Departemen Pertahanan Pasal 4 ayat (1) menjelaskan larangan bagi pegawai di lingkungan departemen pertahanan untuk hidup sebagai suami istri tanpa dasar perkawinan yang sah. Dalam aturan tersebut juga mewajibkan setiap atasan untuk melakukan peneguran, peringatan dan pelarangan terhadap pegawai yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat (1). Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi. Sanksi yang dimaksud dalam peraturan adalah penjatuhan hukuman administrasi kepada pegawai dilingkungan departemen pertahanan yang melanggar ketentuan tentang perkawinan, percerian dan rujuk.[2]
Selain melalui mekanisme internal institusi, MSD, YM dan GAT juga dapat melakukan melaporkan kepada kepolisian atas dugaan pelanggaran terhadap undang-undang administrasi kependudukan. Sebagaimana Pasal 90 (1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Penting kependudukan salahnya adalah perkawinan.[3] Memang Undang-undang masih mengkategorikan pencatatan perkawinan sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberikan sanksi administrasi. Pencatatan perkawinan belum dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi kependudukan.
Dalam Pasal 99 Yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana administrasi kependudukan adalah sebagai berikut[4] :
- Orang memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting
- orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana
- orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan
- pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT Instansi Pelaksana dan Instansi Pelaksana yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada Penduduk dalam pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan
- Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan
- Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan. Salah satu rumusan hukum kamar Militer mengatur tentang perkawinan yaitu Prajurit/anggota TNI melakukan perkawinan tanpa izin atasan tidak lagi dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 103 ayat (1) KUHPM yakni dengan sengaja tidak menaati perintah dinas, karena menurut peraturan panglima perbuatan tersebut hanya sebagai pelanggaran disiplin bukan sebagai perbuatan pidana.
Sayangnya penegakan terhadap aturan ini baik secara internal institusi maupun administrasi masih jauh dari yang diharapkan. Atasan yang diberikan wewenang untuk menghukum bagi setiap anggota Polri maupun TNI tidak menjalankan wewenangnya. Hal ini sangat terlihat menangani laporan yang diajukan oleh MSD, YM dan GAT yang berkali-kali melakukan pengaduan kepada institusi tidak mendapatkan respon tetapi justru mendapatkan kekerasan berulang dari para atasan di institusi, baik secara fisik maupun psikis.
Apa yang diharapkan oleh MSD, YM dan GAT seharusnya dengan mudah dapat difasilitasi oleh para pejabat di institusi masing-masing yang telah diberikan wewenang untuk memberikan pembinaan dan penjatuhan hukuman disiplin. Apalagi perbuatan pasangan MSD, YM dan GAT d yang hidup satu rumah tanpa ikatan perkawinan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat. Sayangnya para pejabat diinsitusi ini memilih untuk bersikap mendua demi melindungi kepentingan anggotanya. Sehingga kasus yang dialami oleh MSD, YM dan GAT akan terus terulang karena hukuman internal institusi tidak berjalan, Sementara secara pidana perbuatan yang dilakukan oleh pasangan MSD, YM dan GAT belum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana.
Dian Puspitasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang
Advokat
Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016-2018
[1] Peraturan Kapolri Nomor 2 tahun 2017 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian Negera Republik Indonesia
[2] Pasal 1 nomor 10 peraturan menteri pertahanan Nomor 23 tahun 2008 tentang perkawinan, percerian dan rujuk bagi pegawai dilingkungan Departemen Pertahanan
[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
[4] Ibid