doc. Internet

Upaya keadilan yang ditempuh oleh MSD, YM dan GAT bukan tanpa resiko. Salah satu resiko yang harus dihadapi adalah potensi kriminalisasi menggunakan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Dalam perspektif Undang-undang Administrasi kependudukan peluang pemberian sanksi administrasi bagi setiap penduduk yang tidak mencatatkan peristiwa kependudukan termasuk perkawinan sebagaimana Pasal 90 (1) justru berpotensi mengkriminalkan perempuan yang perkawinannya tidak tercatat. Undang-undang administrasi ini masih bias gender dan cenderung tidak berpihak pada kepentingan perempuan yang dinikah secara agama. Budaya patriarki dan relasi yang timpang menjadi factor pencatatan perkawinan ini tidak dilakukan.

Fakta bahwa perkawinan secara agama yang paling dirugikan adalah perempuan dan perempuanlah yang paling berkepentingan untuk mencatatkan perkawinannya, terlebih ketika anak-anak tersebut lahir. Demi kepastian hukum status dirinya dan anak-anak yang dilahirkan perempuan akan menempuh berbagai jalan. Tetapi jika  MSD, YM dan GAT tetap memaksa menggunakan mekanisme seperti dalam undang-undang administrasi maka MSD, YM dan GAT juga menjadi bagian dari pelanggar undang-undang administrasi kependudukan. Sementara undang-undang administrasi tidak menyediakan mekanisme khusus disediakan agar perempuan terhindar dari ancaman sanksi tersebut. 

Sementara jika MSD, YM dan GAT menempuh pidana, tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang perbuatan pasangan MSD, YM dan GAT. Jika MSD, YM dan GAT tetap bersikukuh menggunakan pasal-pasal yang tersedia dalam KUHP seperti perbuatan tidak menyenangkan sudah tentu akan sulit untuk diproses. Sementara jika menggunakan Pasal  279  tentang kejahatan perkawinan, dalam konteks kasus GAT justru potensi menjadi kriminal semakin besar dengan menggunakan Pasal perzinahan. 

Melihat dampak yang sangat besar dari perkawinan yang tidak tercatat Seharusnya pemerintah harus serius menangani permasalahan tersebut. Pencatatan perkawinan bukan hanya persoalan administrasi semata. Negara tidak bersikap mendua, disatu sisi mengakui perkawinan sah secara agama, tetapi tidak memberikan perlindungan bagi perempuan. Persoalan ini akan terus-menerus menjadi pekerjaan rumah, jika Negara tidak segera menyelesaikan. Memaksimalkan penegakan hukum dinternal intsitusi serta segera karena Negara sendiri menyusun regulasi yang berperspektif perempuan.

Dian Puspitasari (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Advokat, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016-2018