Oleh Nur Laila Hafidhoh

Tahun 2020 Indonesia memasuki masa pandemic Covid-19 hingga saat ini lonjakan ke 3 dengan varian baru Omicron. Situasi ini membawa dampak besar bagi perempuan di berbagai bidang. Hasil diskusi LRC-KJHAM bersama kelompok perempuan korban kekerasan, perempuan pekerja migran dan perempuan miskin Kota Semarang di awal pandemic Covid-19, bahwa adanya Covid-19 beserta kebijakan pembatasannya ini berdampak pada ekonomi perempuan dan keluarga. Penghasilan menurun bahkan ada yang tidak memiliki penghasilan sama sekali. Anggota komunitas yang bekerja sebagai tukang pijat online mengeluh tidak bisa bekerja sama sekali. Anggota komunitas yang bekerja sebagai guru Les dan guru ngaji privat juga tidak bisa bisa mengajar les lagi. Beberapa anggota komunitas yang berprofesi sebagai pedagang sayur, buah, penjual makanan di kantin sekolah, penjual pulsa dan usaha kecil lainnya juga mengaku mengalami kesulitan ekonomi di masa pandemic Covid-19 ini. Perempuan pekerja yang dirumahkan tapi tidak mendapatkan gaji. Bahkan ada yang suaminya diPHK. Sementara itu harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari semakin melambung tinggi. Pendidikan anak-anak sekolah yang dialihkan menjadi pembelajaran daring menuntut kebutuhan baru yaitu HP dan kuota internet.

Berbagai kebijakan pembatasan fisik yang diberlakukan membuat perempuan harus memiliki kemampuan beradaptasi. Perempuan dituntut harus mampu mengelola perekonomian keluarga. Perempuan harus bisa mengatasi persoalan pembelajaran daring bagi anak-anaknya. Bagi perempuan pekerja yang bekerja dari rumah juga harus bisa menjalankan pekerjaannya. Ketimpangan pembagian peran dalam keluarga akan berdampak pada meningkatnya stress dan tekanan psikologis bagi perempuan dan anak-anak. “Anak-anak stress, orang tua pun ikut stress” cerita salah satu anggota komunitas.

Situasi sulit dan ketimpangan pembagian peran dalam keluarga akan membuat perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KdRT). Hasil survey Komnas Perempuan terhadap 2.285 responden yang didominasi perempuan, bahwa  

“Ada sekitar 10.3% (235) responden melaporkan bahwa hubungan mereka dengan pasangannya semakin tegang, dimana mereka yang mempunyai status menikah lebih rentan (12%) dari pada yang tidak menikah (2.5%).

Pada perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan laki-laki. Selama Pandemi COVID-19 secara umum kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dialami oleh responden dari pada jenis kekerasan lainnya. Untuk kekerasan psikologis, 15,3%, atau 289 perempuan, menjawab kadang-kadang mengalami, dan 3,5%, atau 66 perempuan, menjawab sering mengalami.”

Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa perempuan sangat rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sementara itu, dalam rentang waktu 3 tahun (2019 – 2021) LRC-KJHAM menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 89 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami adalah kekerasan fisik, psikis dan penelantaran ekonomi. Dari kasus-kasus tersebut diantaranya adalah korban dipukuli suaminya, korban diseret dari tangga, korban dilarang keluar rumah dan dilarang meminta pertolongan serta ditakuti dengan senjata api, korban diancam dibunuh oleh suaminya, korban diperas oleh suaminya, dan sebagainya.

Selain itu, kebijakan pembatasan fisik yang mengalihkan kegiatan-kegiatan bertemu secara fisik menjadi online/ daring juga membuat munculnya trend kekerasan berbasis gender online (KBGO). Berdasarkan data penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan LRC-KJHAM, sejak tahun 2019 – 2021, LRC-KJHAM menangani 14 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi diantaranya adalah permintaan hubungan seksual melalui video call, merekam (mengambil video) pada saat berhubungan seksual, menggunakan foto/ video yang berkonten seksual untuk mengancam melakukan kekerasan seksual berikutnya, meminta foto telanjang, meminta foto vagina dan payudara, mengendalikan akun sosial media dengan memposting status yang membuat korban tidak nyaman.

Sementara itu kasus kekerasan seksual secara umum juga tinggi. Selama tahun 2019 – 2021 LRC-KJHAM menangani kasus kekerasan seksual sejumlah 136 kasus kekerasan seksual atau 56% dari 241 kasus yang ditangani LRC-KJHAM selama 3 tahun. Dalam kasus kekerasan seksual, masih banyak kasus yang didamaikan bahkan dikawinkan dengan pelaku. Parahnya proses perdamaian atau perkawinan ini banyak disarankan, didesak bahkan difasilitasi oleh tokoh-tokoh atau apparat setempat. Dalam hal kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak usia sekolah, Ketika kasus tersebut berdampak pada kehamilan, tidak jarang korbannya justru yang dikeluarkan atau diminta mundur dari sekolah.

Situasi ini menunjukkan semakin tidak adanya ruang aman bagi perempuan. Dalam ruang pertemuan secara fisik (luring/ offline) perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Dalam ruang daring/ online perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Di sisi lain perlindungan terhadap korban masih menjadi tantangan. Korban masih menemukan hambatan dalam mendapatkan hak-haknya. Masih banyak kasus yang sulit untuk dibawa ke proses hukum. Kasus banyak yang berhenti di proses konseling. Diantaranya karena sulitnya pembuktian. Perempuan korban kekerasan diminta mencari alat bukti sendiri. Berkaitan dengan akses informasi, masih banyak korban tidak mendapatkan akses informasi tentang perkembangan kasus. Korban juga kesulitan mendapatkan Salinan putusannya. Pengalaman LRC-KJHAM pada saat mengakses Salinan putusan kasus di beberapa pengadilan di Jawa Tengah, respon yang didapatkan diantaranya adalah dipersulit, mendapatkan penerimaan yang tidak ramah, dimintai uang, diberi Salinan putusan yang tidak berstempel, dan sebagainya.

Hambatan penanganan kasus yang spesifik terjadi di masa Covid-19 pengalaman LRC-KJHAM diantaranya adalah ruangan pelayanan yang sempit dan sangat minim protocol Kesehatan, akses layanan visum yang dialihkan karena rumah sakit penuh dengan pasien Covid-19, pemeriksaan medis yang bercampur dengan pasien Covid-19, adanya akses layanan yang mensyaratkan korban negative dari Covid-19 tetapi belum terintegrasi antar layanan. Hal ini membuat korban dan pendamping rentan terpapar Covid-19. Sampai saat ini teridentifikasi 6 pendamping korban dari staf LRC-KJHAM dan paralegal komunitas yang terpapar Covid-19.

Sementara itu anggaran penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat kecil. Terlebih lagi di masa Covid-19 anggaran banyak direfocusing untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Berdasarkan data monitoring LRC-KJHAM terhadap APBD Provinsi Jawa Tengah, di tahun 2020 anggaran Dinas Perempuan Anak Provinsi Jawa Tengah sebesar 33.431.326.000 atau hanya 0,11% dari total APBD, kemudian di tahun 2021 anggaran tersebut turun menjadi 27.932.278.000 atau hanya 0,10% dari total APBD. Situasi ini semakin memperburuk pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Hal ini tidak sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 4 h yang menyatakan bahwa negara harus memasukkan anggaran pemerintah, sumber daya yang mencukupi untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Minimnya anggaran tersebut juga dipengaruhi oleh partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan dan perencanaan penganggaran yang semakin melemah. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan pembatasan fisik/ social di masa Covid-19 ini. Pertemuan-pertemuan atau forum perencanaan pembangunan yang dialihkan secara online, semakin membatasi partisipasi perempuan. Hal ini karena keterbatasan akses perempuan terhadap teknologi seperti tidak memiliki HP, Laptop dan tidak bisa mengoperasikan, tidak memiliki kuota, atau keterbatasan jaringan internet bagi perempuan di pedesaan.

Indonesia sudah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan perempuan. Diantaranya adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Indonesia juga memiliki Inpress No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.  Tetapi implementasinya masih harus diperkuat lagi agar peraturan perundang-undangan tersebut bisa diimplementasikan dan efektif untuk pemenuhan dan perlindungan perempuan.

Di sisi lain kebijakan pembangunan tata ruang dan pengelolaan sumberdaya alam semakin menyingkirkan perempuan. Kasus Penggusuran di Tambakrejo Kota Semarang berdampak luar biasa pada perempuan. Berdasarkan temuan silang belajar Komunitas Dewi Shinta dan Perempuan Nelayan di Tambakrejo, bahwa penggusuran itu membuat perempuan di Tambakrejo merasakan sakit, ketakutan, kehujanan, kedinginan. Mereka juga kehilangan mata pencahariannya. Di Purworejo, rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas juga berdampak pada perempuan. Perempuan terancam kehilangan sumber air bersih dan mata pencaharian. Perempuan juga mengalami dampak represifitas dari apparat.

Situasi tersebut ditambah lagi dengan posisi Gerakan masyarakat sipil dan perempuan pembela HAM yang semakin tersingkir, dilemahkan dan minim perlindungan. Perempuan pembela HAM seringkali mendapatkan ancaman, intimidasi bahkan rentan mengalami kekerasan. Perempuan pembela HAM juga rentan dilaporkan pidana oleh pelaku. Dalam menjalankan kerja-kerja pembelaan terhadap korban, seringkali mendapatkan terror, intimidasi dan serangan melalui media elektronik. Dalam beberapa kali agenda diskusi atau seminar online tentang kekerasan seksual, muncul akun yang mengganggu jalannya diskusi dengan melakukan serangan seksual secara online.

Strategi Gerakan Perempuan

Dari berbagai fakta pelanggaran hak asasi perempuan dan lemahnya penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan serta situasi Pandemi Covid-19, perjuangan untuk mewujudkan keadilan gender tetap harus dilakukan. Gerakan masyarakat sipil yang merupakan bagian dari Gerakan perubahan sosial harus memiliki strategi yang inovatif. Strategi yang dilakukan adalah mengembangkan jurnalisme masyarakat, memperkuat platform digital dan mengembangkan program donasi publik serta social enterprise.

Jurnalisme masyarakat dilakukan seiring dengan perkembangan zaman di mana setiap orang bisa mengambil gambar atau merekam peristiwa kemudian memposting di media social seperti Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya. Strategi ini digunakan untuk memperkuat fakta yang bersumber dari suara dan pengalaman perempuan. Masyarakat dan kelompok perempuan rentan harus diperkuat pengetahuannya dalam mendokumentasikan dan memberitakan atau melaporkan peristiwa yang berkaitan dengan isu perempuan dan permasalahan social lainnya. Hasil dari pemberitaan di media ini bisa digunakan untuk pendidikan publik, advokasi kebijakan maupun media belajar bagi perempuan sendiri. Strategi ini bisa dilakukan dengan melibatkan jurnalis professional. Agar terjadi silang belajar antara masyarakat atau perempuan dengan jurnalis. Para jurnalis akan semakin memahami dan memiliki keberpihakan terhadap isu ketidakadilan gender dan masyarakat atau perempuan bisa meningkat pengetahuannya dalam bidang jurnalistik.

Di tengah-tengah kondisi pandemic Covid-19 yang membatasi aktivitas fisik, perjuangan harus tetap berjalan. Penguatan platform digital adalah salah satu strategi yang bisa digunakan untuk Pendidikan public dan advokasi kebijakan. Sebagaimana yang telah dilakukan LRC-KJHAM melalui beberapa program diantaranya adalah Podcast, siaran langsung di Instagram dengan nama “Ngemper” (Ngobrol bareng perempuan), siaran langsung di Facebook dengan nama program “Baper” (Bincang Asyik bareng Perempuan). Strategi penguatan platform digital ini juga diharapkan mampu mengelola pengetahuan perempuan menjadi pengetahuan baru. Tetapi strategi ini membutuhkan ketrampilan digital, ketersediaan peralatan dan jaringan internet yang memadai.

Pengembangan donasi publik atau donasi masyarakat dilakukan untuk mengatasi kendala pendanaan yang terjadi pada Gerakan masyarakat sipil. Melalui strategi penggalangan donasi ini juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan gerakan mewujudkan keadilan gender. Organisasi masyarakat sipil juga harus meningkatkan akuntabilitas diantaranya melalui laporan penggunaan donasi publik tersebut.

Selain itu, social enterprise juga menjadi strategi untuk memperkuat gerakan perempuan. dilansir dari Jurnal.id

“Social enterprise atau perusahaan sosial adalah sebuah ide bisnis yang menggabungkan antara konsep dasar berdagang yaitu mencari keuntungan dengan kewajiban kita membantu lingkungan sosial, di mana sebuah perusahaan akan memaksimalkan pendapatannya sejalan dengan manfaat yang diberikan kepada masyarakat. Jadi secara prinsip, hasil keuntungan akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendanai program sosial yang sudah direncanakan.“

Konsep ini sudah banyak dikembangkan oleh organisasi masyarakat sipil. Beberapa diantaranya membuat bisnis merchandise, makanan, pakaian dan sebagainya. Dimana bahan bakunya diperoleh dari komunitas perempuan atau masyarakat lokal. Atau pembuatan barang atau produksinya hasil olahan komunitas perempuan. Sehingga ini akan memperkuat perekonomian perempuan.   

Strategi-strategi tersebut adalah sebagian dari ide dan refleksi dari proses belajar dan berjuang bersama dengan perempuan dan para aktivis serta pembela hak asasi perempuan. Tentunya banyak ide lain yang bisa dikembangkan untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil untuk memperjuangkan keadilan gender dan hak asasi manusia.