REPRODUKSI SOSIAL YANG DIABAIKAN
Oleh : Firda, Mahasiswa Universitas Diponegoro
Baru-baru ini, media ramai mengabarkan tentang kejadian yang menimpa SK, seorang pekerja rumah tangga (yang setelah ini akan disebut sebagai PRT) yang mendapat penyiksaan dari majikan dan rekan sesama PRT-nya. Penyiksaan tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk, SK dipukuli, dipaksa memakan kotoran anjing, disiram air panas, dipaksa tidur di kandang anjing, dirantai, hingga direndam air panas yang mendidih. Bahkan, SK juga mengalami kekerasan seksual saat difitnah mencuri celana dalam milik majikannya. (Konde.co, 14/7/2023)
Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang PRT dengan inisial IW (29) juga mengalami kekerasan dari majikannya. IW didera dengan berbagai bentuk kekerasan fisik, seperti dipukul menggunakan shower, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan disiram air panas. Yang lebih parah lagi, setelah menyiksa IW, majikannya memaksa IW untuk melukai dirinya sendiri sembari majikannya merekam kejadian tersebut untuk dijadikan sebuah alibi. Majikan IW kemudian menyebar video tersebut kepada tetangga dengan niat memfitnah IW mengalami gangguan jiwa. Selain kekerasan fisik, IW juga mengalami kekerasan ekonomi berupa pemotongan upah pada dua bulan pertama IW bekerja. Bahkan, pada bulan berikutnya, IW sama sekali tidak menerima upah yang seharusnya dibayarkan. (Radar Jogja, 19/04/2022)
Pada bulan Juni 2022 pun terjadi kasus kekerasan terhadap seorang PRT berusia 19 tahun di Cengkareng, Jakarta Barat. Sejak umur 16 tahun, ia diperkosa oleh majikannya hingga hamil. Si majikan pun tak pernah memberikan upah kerja yang sudah seharusnya menjadi hak korban. Korban selalu diancam tidak diberi makan dan mendapat kekerasan fisik jika korban berani menolak pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh si majikan. (kumparan.com, 03/06/2022),
Beberapa kasus kekerasan terhadap PRT yang telah disebutkan di atas tentu baru menggambarkan secuil saja kekerasan terhadap PRT, kekerasan terhadap PRT yang tak diwartakan tentu jauh lebih banyak. Upah rendah, jam kerja yang tak pasti, kurangnya waktu istirahat, serta kekerasan adalah hal-hal yang kerap kali dialami oleh sebagian besar PRT. Posisi PRT yang karena kemiskinan struktural yang dialaminya membuat mereka semakin rentan dieksploitasi dan diremehkan oleh sebagian besar masyarakat.
Prempuan dan Kerja-kerja Reproduksi Sosial yang Diabaikan
Ketika membahas mengenai kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan terhadap PRT, kita tentu tidak bisa memisahkannya dari persoalan gender, seksualitas, dan perempuan karena dari 4,2 juta jiwa PRT di Indonesia (berdasarkan pada Data Survei ILO dan Universitas Indonesia 2015), 84 persennya adalah perempuan. Lantas, apa sebenarnya penyebab perempuan dibebani kerja-kerja reproduksi dan banyak perempuan menjadi PRT? Jawabannya adalah karena pemisahan kerja yang dilakukan pada masa transisi dari era feodalisme ke era kapitalisme.
Pemisahan kerja secara historis dengan gamblang dijelaskan oleh Silvia Federici—seorang scholar terkemuka dan salah satu feminis yang mempelopori gerakan ‘Wages of Housework’ pada tahun 1970-an—dalam bukunya yang berjudul “Caliban and The Witch: Women, The Body, and Primitive Accumulation”. Menurut Federici, pemisahan kerja tersebut berawal dari adanya peristiwa “Great witch-hunt” atau Perburuan Penyihir pada abad ke-16 dan ke-17 yang menyebabkan ratusan ribu perempuan dibunuh karena dituduh sebagai witch atau penyihir.
Selama ini, penyihir kerapkali dipandang sebagai sosok matriarkal yang kental akan kemistisannya, tetapi Frederici mendemitologisasi sosok penyihir—sebagai pembacaannya atas sejarah—sebagai perempuan petani biasa yang kemudian dijadikan simbol perlawanan dan revolusi. Sebagian besar perempuan yang dituduh sebagai penyihir dan dibunuh oleh tuan-tuan tanah adalah petani miskin pada masa awal kapitalisme, tabib, istri yang tidak patuh, perempuan yang berani hidup sendiri, perempuan obeha yang meracuni makanan tuannya dan menginspirasi para budak untuk memberontak, serta dukun beranak yang kerap membantu perempuan-perempuan yang ingin menggugurkan kandungannya. Federici menyebutkan bahwa Perburuan Penyihir tumbuh dalam lingkungan sosial di mana ‘orang yang lebih baik’ hidup dalam ketakutan terus-menerus terhadap ‘kelas bawah’ dan potensi pembangkangan mereka seperti yang kerap terjadi pada masa feodalisme.
Keberadaan perempuan yang dianggap sebagai penyihir tersebut dipandang membahayakan sistem kapitalisme yang saat itu sedang berlangsung karena penyihir dianggap menghambat akumulasi kapital dan laju reproduksi tenaga kerja, padahal jelas diketahui bahwa penopang utama kapitalisme adalah akumulasi kapital dan tenaga kerja. Federici yakin bahwa witch-hunt dipromosikan oleh kelas politik yang yakin bahwa populasi yang besar merupakan sumber kekayaan sosial dan sumber buruh murah. Untuk melancarkan akumulasi tenaga kerja, semua pemerintahan di Eropa pada pertengahan abad ke-16 juga mulai mengenakan hukuman yang kejam bagi mereka yang menggunakan kontrasepsi, melakukan aborsi, atau mandul.
Pada akhir abad ke-17, bersamaan dengan witch-hunt, perempuan dan perempuan yang dilabeli sebagai penyihir di Eropa kehilangan akses ke pekerjaan yang sebelumnya menjadi kewenangan mereka. Seperti contoh, perempuan-perempuan yang awalnya bekerja sebagai petani berubah menjadi proletariat setelah lahan mereka dirampas oleh para kapitalis. Mereka kemudian kesulitan dalam mencari pekerjaan selain pekerjaan yang berkaitan dengan reproduksi sosial yang dianggap rendahan seperti pekerja rumah tangga, pemintal, perawat, dan pekerjaan sejenisnya. Masyarakat pada masa itu beranggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bekerja di luar rumah dan kalau pun mereka harus terlibat dalam kegiatan produksi, hanya untuk membantu suami. Bahkan, terdapat argumen yang menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di dalam rumah tidak dianggap sebagai pekerjaan yang berarti. Menurut Federici, pendisiplinan tubuh perempuan yang menyebabkan perempuan hanya boleh terlibat dalam kerja-kerja reproduktif dan domestik yang tidak dibayar merupakan awal mula terjadinya devaluasi kerja perempuan dan upah yang patriarkis.
Dalam rezim moneter baru—kapitalisme—kerja dipisahkan menjadi kerja-kerja produksi dan kerja-kerja reproduksi sosial. Kerja-kerja produksi dapat diartikan sebagai aktivitas mengubah faktor produksi menjadi output berupa barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomi, sedangkan kerja-kerja reproduksi sosial adalah aktivitas yang memastikan terulang kembalinya struktur sosial dari waktu ke waktu. Nancy Fraser dalam bukunya yang berjudul “Contradictions of Capital and Care” mengemukakan bahwa hanya kerja-kerja produksi yang disebut sebagai kerja yang nyata karena kerja-kerja produksi didefinisikan sebagai aktivitas penciptaan nilai, sedangkan kerja-kerja reproduksi sosial yang dialamatkan pada kerja-kerja domestik dan perawatan dianggap tidak memiliki nilai dari sudut pandang ekonomi.
Pemisahan kerja antara kerja-kerja produksi dan kerja-kerja reproduksi sosial tersebut tentu menimbulkan subordinasi bagi perempuan yang dikonstruksikan sebagai pelaku kerja-kerja reproduksi sosial yang tak dibayar. Terlebih di zaman modern ketika kerja-kerja reproduksi sosial mulai dikomodifikasi, PRT yang sebagian besar adalah perempuan menjadi orang yang paling terdampak dari pemisahan kerja tersebut.
Lebih bahayanya lagi, masyarakat menganggap bahwa kerja-kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh PRT seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengasuh anak adalah aktivitas yang tak berkontribusi apa pun dalam akumulasi kapital. Munculnya pandangan tersebut tentu berasal dari upaya pengkaburan nilai reproduksi sosial dengan menaruhnya di ranah domestik yang coba dilakukan oleh kapitalisme.
Praktik-praktik pengkaburan nilai reproduksi sosial dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-sehari, jika dipikirkan secara lebih mendalam, karena jasa siapakah seorang direktur sebuah perusahaan dapat bekerja dengan setelan yang bersih dan wangi? Karena jasa siapakah direktur sebuah perusahaan dapat bekerja dengan perut kenyang? Karena jasa siapakah direktur sebuah perusahaan dapat beristirahat dengan tenang tanpa memikirkan bagaimana kebersihan rumahnya sementara sebagian besar waktu si direktur habis untuk mengurus kerja-kerja produksi di perusahaan. Banyak orang belum menyadari bahwa di balik kesuksesan si majikan, terdapat cucuran keringat PRT yang tak pernah kering. Hal tersebut menegaskan bahwa PRT yang memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak dan melakukan kerja-kerja reproduksi sosial lain juga memiliki nilai ekonomi, yaitu merawat tenaga kerja agar tetap produktif sehingga dapat disimpulkan kalau kerja-kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh PRT sama pentingnya dengan kerja-kerja produksi yang dilakukan oleh si majikan yang bekerja di perusahaan. Keduanya sama-sama pekerja dan memiliki kontribusi dalam akumulasi kapital.
Ada kah Perlindungan Hukum bagi PRT?
Rumit dan khasnya persoalan yang dihadapi oleh PRT mulai dari kemiskinan, opresi gender dan seksualitas, hingga pelanggaran hak asasi manusia muncul dalam berbagai bentuk seperti tidak adanya kontrak kerja, upah rendah, beban kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang bagai tiada akhir, libur dan cuti yang tidak diperoleh, larangan berserikat, absennya jaminan sosial, dan rentan eksploitasi serta kekerasan baik dari majikan maupun agen penyalur. Hal ini sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) bahwasannya sejak tahun 2012 hingga tahun 2020, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung meningkat. Jika pada tahun 2012 terdapat 327 kasus, pada tahun 2020 naik menjadi 842 kasus. Berbagai macam jenis kekerasan seperti kekerasan fisik, ekonomi, psikis, perdagangan manusia, dan tidak jarang berupa kekerasan berlapis kerap kali mendera PRT.
Pelanggaran hak-hak PRT yang disebabkan oleh terekslusinya PRT dari perlindungan hukum di ranah ketenagakerjaan menyebabkan PRT yang mayoritas adalah perempuan terpaksa mengalami kondisi rentan. Mereka terus menerus terjebak dalam kemiskinan struktural dan termarjinalisasi karena praktik ilegal yang tak menghormati harkat martabat manusia. Semua itu tentu saja berdampak pada kesehatan fisik dan mental PRT. Padahal, kerja-kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh PRT memiliki peran yang krusial dalam mendukung perekonomian dan menjaga keseimbangan fungsi keluarga. Oleh sebab itu, memberikan perlindungan hukum bagi PRT merupakan upaya yang harus segera dilakukan.
Meski sudah ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap PRT seperti KUHP, UU PKDRT dan sejenisnya, tetapi peraturan-peraturan tersebut masih bersifat parsial dan belum komprehensif. Hal ini tentu menjadi penghambat dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak terhadap PRT yang cenderung meningkat jika mengacu pada data di lapangan. Hingga saat ini, satu-satunya upaya perlindungan hukum di tingkat nasional yang dinilai cukup komprehensif adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, pada kenyataannya Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 masih memiliki kekurangan karena kurang rincinya pengaturan mengenai hak dan kewajiban bagi PRT dan pemberi kerja sehingga menyebabkan munculnya berbagai interpretasi yang ditakutkan mengurangi keoptimalan pelaksanaannya.
Sebenarnya, sudah terdapat rancangan undang-undang yang mengatur secara komprehensif mengenai perlindungan terhadap PRT, rancangan undang-undang tersebut dikenal sebagai Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Beberapa pokok-pokok pikiran dan hal yang diatur dalam RUU PPRT antara lain sebagai berikut:
- Pengakuan PRT sebagai pekerja
- Kesejahteraan PRT sebagai pekerja dan warga negara
- Perlindungan dan keseimbangan hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT
- Kategori PRT
- Lingkup kerja PRT
- Syarat dan kondisi kerja
- Hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja
- Pemberian pendidikan dan pelatihan bagi PRT
- Penghapusan PRT Anak
- Penyelesaian perselisihan PRT dengan pemberi kerja
- PRT berhak bergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh baik menjadi anggota maupun pengurus
- Pengawasan oleh Dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah di bidang ketenagakerjaan dengan melibatkan pihak RT/RW dan Kelurahan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap PRT
- Informasi kerja
- Sanksi pidana untuk Pemberi Kerja yang mendiskriminasi, mengancam, melecehkan, dan/atau menggunakan kekerasan fisik dan non fisik kepada PRT
- Sanksi pidana Agen Penyalur yang melakukan intimidasi dan kekerasan kepada calon PRT serta memalsukan identitas calon PRT dan perusahaannya.
Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum juga tergerak untuk mengesahkan RUU PPRT sejak pertama kali RUU tersebut diusulkan pada tahun 2004 silam. Ada beberapa alasan yang kerap disinyalir sebagai penghambat pengesahan RUU PPRT, salah satunya adalah terdapat bias kelas dan conflict of interest di kalangan anggota DPR karena banyak anggota DPR adalah Pemberi Kerja. Hal tersebut sejalan dengan hasil investigasi dan wawancara yang dilakukan JALA PRT terhadap anggota DPR pada tahun 2010. Investigasi menunjukkan, seorang anggota DPR mempekerjakan sedikitnya lima PRT dan paling banyak 11 PRT. Bayangkan konsekuensi yang harus ditanggung oleh anggota DPR ketika RUU PPRT disahkan, seperti diaturnya kontrak kerja, lingkup kerja, upah kerja yang layak, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan untuk PRT dan masih banyak lagi. Padahal sudah seharusnya wakil rakyat memberikan perlindungan bagi wong cilik seperti PRT dari praktek-praktek yang menindas dan menghisap.