“Suara Perempuan untuk Keadilan”
Bersama
Aliansi Mendukung Keadilan Perempuan (LAMPU)

PRESS RELEASE

Semarang, 21 November 2019

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye 16 HAKTP yang dilakukan setiap tahun dimulai tanggal 25 November hingga 10 Desember hari HAM Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan Hak Asasi Manusia serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Berdasarkan data LRC-KJHAM sejak tahun 2016-2018 tercatat 1.021 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korbannya 1.886 dan 1.408 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya dalam satu hari ada 1 s/d 2 perempuan menjadi korban kekerasan. Sementara itu di tahun 2019 dari bulan Oktober – Juni 2019, tercatat 79 kasus kekerasan terhadap perempuan, 61 perempuan diantaranya menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan korban kekerasan masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan terutama perempuan korban kekerasan seksual. Perempuan korban kekerasan seksual yang mengalami kriminalisasi, dinikahkan dengan pelaku, masih kuatnya stigma masyarakat terhadap perempuan korban yang tidak mendukung justru menyalahkan korban.        

Selain perempuan korban kekerasan, juga terdapat kelompok-kelompok perempuan lain yang hingga sekarang masih mengalami hambatan dalam mengakses hak-haknya terutama hak atas jaminan perlindungan sosial. Kelompok perempuan tersebut antara lain adalah perempuan pekerja rumahan, perempuan dengan disabilitas, perempuan pesisir/ nelayan, perempuan yang berhadapan dengan konflik lingkungan, perempuan petani, perempuan pekerja migran, perempuan kepala keluarga, dan lain sebagainya.

Berdasarkan data disabilitas yang sudah terverifikasi sampai tahun 2019 bulan Oktober tercatat  5.354 disabilitas. Perempuan dengan disabilitas juga mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan bahwa pendidikan inklusi belum sepenuhnya dengan konsep inklusi, kesempatan kerja untuk perempuan disabilitas mayoritas untuk daksa ringan. Sedangkan untuk perempuan tuli dan netra belum bisa diakses. Lingkungan untuk perempuan disabilitas mental atau intelektual masih belum ramah, dan cenderung mendiskriminasikan, Kekerasan seksual pada disabilitas tidak mudah diungkap sampai proses hukum. Sedangkan untuk pemberdayaan dan pelatihan ekonomi telah banyak dilaksanakan (peserta sama) tetapi kesulitan dalam pemasaran.

Selain itu, berdasarkan catatan LBH Semarang perempuan rentan menjadi korban dalam konflik perebutan ruang dan sumber daya alam. Perempuan pesisir Tambakrejo di Kota Semarang merupakan sebagian dari banyak kasus perebutan ruang yang merampas hak-hak perempuan. 95 perempuan dan 107 anak tidak mendapatkan akses hak atas kehidupan dan tempat tinggal yang layak, selain itu mereka juga tidak mendapatkan akses hak atas ekonomi, hak atas kesehatan, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi maupun hak untuk mendapatkan rasa aman. Perempuan petani di Surokonto Wetan dan Perempuan terdampak pencemaran limbah PT. Rayon Utama Makmur harus menggantikan peran suaminya yang dikriminalisasi. Lebih dari 300 orang perempuan terdampak konflik sumber daya alam di Surokonto Wetan, Kab. Kendal. Data perempuan pekerja rumahan juga cukup tinggi yang tercatat dengan jumlah 1.700 perempuan pekerja rumahan hal ini berdasarkan data Yasanti. Perempuan pekerja rumahan juga mengalami hambatan tidak diakui sebagai buruh, pengusaha dan pemerintah menganggap pekerjaan tersebut sebagai sampingan, diberikan upah murah, K3 tidak diberikan, mengalami kekerasan seksual, intimidasi, alat kerja diusahakan sendiri, dilarang berorganisasi. Rumah menjadi tempat kerja artinya merebut ruang-ruang keluarga atau reproduksi menjadi ruang produksi.   

Banyaknya persoalan dan situasi yang dialami perempuan menunjukan bahwa adanya ratifikasi konvensi CEDAW, adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga belum mampu menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua sektor termasuk menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Melalui forum kesaksian korban dari berbagai lintas isu pelanggarann HAM perempuan, seperti perempuan korban kekerasan, perempuan disabilitas, perempuan pekerja rumahan, perempuan dengan konflik SDA, perempuan pesisir, dan perempuan petani akan mendapatkan ruang untuk menyampaikan peristiwa dan permasalahan yang dialami, dampak dari pelanggaran HAM, hambatan ketika menegakkan keadilan, serta harapan oleh para korban.  Tidak hanya melalui bukti kesaksian korban saja namun bukti-bukti lain seperti alat-alat perjuangan yang digunakan oleh korban juga menjadi saksi bahwa betapa sulitnya mendapatkan keadilan di negeri ini.

Berdasarkan hal tersebut kami aliansi mendukung keadilan perempuan (LAMPU) mendesak kepada pemerintah agar:

  1. Memperbaiki status pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan sebagaimana mandat CEDAW.
  2. Menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM perempuan.
  3. Pemerintah provinsi Jawa Tengah dan jajarannya di Kabupaten/ Kota untuk memberikan pengakuan dan perlindungan kepada kelompok-kelompok perempuan rentan, seperti perempuan korban kekerasan, perempuan disabilitas, perempuan pekerja rumahan, perempuan yang berhadapan dengan konflik lingkungan, perempuan pesisir, dan perempuan petani melalui kebijakan daerah seperti peraturan daerah, program dan kegiatan serta anggaran.
  4. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mulai kritis, peduli dan tanggap terhadap permasalahan pelanggaran HAM perempuan terutama di Jawa Tengah.

CP:
Niha      085640000282
Rima     085866212287
Helen    081325706316
Irna       085728099489