

Jambore Perempuan Komunitas atau disebut sebagai Jarik, terlaksana pada 25 – 27 Pebruari 2019 di Rumah Retret Panti Samadi Nasaret, Tanah Putih, Candisari, Kota Semarang. Kegiatan ini diinisiasi oleh Forum Pengada Layanan (FPL) dengan LBH Apik Aceh dan LRC-KJHAM sebagai penyelenggaranya.
Jambore ini adalah Jambore yang ke-II (kedua) untuk PPH komunitas di wilayah Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa dan Bali. Sementara Jambore yang ke I (kesatu) sudah dilakukan pada tanggal 10 – 11 Desember 2018, di Kota Kupang, NTT dengan peserta dari PPH komunitas di wilayah Indonesia Timur.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendiskusikan resiko dan ancaman PPH yang bekerja di komunitas dan organisasi anggota FPL untuk saat ini dan potensi ancaman dan sumber ancaman di 10 tahun mendatang, mendiskusikan bentuk mekanisme dukungan dan perlindungan bagi PPH khususnya bagi PPH yang bekerja di komunitas dan di organisasi anggota FPL dan menyusun rencana aksi bersama untuk mewujudkan mekanisme dukungan dan perlindungan bagi WPPH khususnya bagi PPH yang bekerja di komunitas dan di organisasi anggota FPL.
Sebelumnya, FPL telah memulai pemetaan potensi dan kerentanan Perempuan Pembela HAM (PPH) di Indonesia. Yaitu, di 5 bidang kerja HAM yang dilakukan di 45 kabupaten/kota, di 15 provinsi. 5 bidang kerja HAM tersebut diantaranya; (1) bidang isu kekerasan terhadap perempuan, (2) pelanggaran HAM masa lalu, (3) konflik SDA, agraria dan lingkungan, (4) kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan (5) keragaman gender dan seksualitas. Hasil sementara pemetaan memperlihatkan bahwa, potensi dan kerentanan PPH di 5 bidang kerja HAM tersebut meningkat dan berkembang, baik bentuk, sumber ancaman dan kekerasan serta polanya.
Ancaman dan kekerasan tersebut dialami oleh PPH yang bekerja di semua level, tak terkecuali yang bekerja di level komunitas (akar rumput), seperti para penyintas, paralegal dan pendamping korban di komunitas, anggota komunitas perempuan, pegiat hak asasi perempuan di desa dan sebagainya. PPH asal Aceh, misalnya, ia menerima berbagai ancaman pada saat mendampingi perempuan korban kekerasan. Ancaman-ancaman tersebut berupa penyadapan telpon oleh pelaku, ancaman akan dibunuh dan diperkosa. Bahkan, anak PPH beberapa kali menerima ancaman fisik berupa pemukulan dari pelaku dan orang bayaran pelaku hingga retak tulang. Selain itu, ia dan keluarganya sempat akan diusir dari kampung oleh Kepala Desa dan beberapa warga. Ia dianggap mengusik kedamaian desa karena mendampingi kasus trafficking dan buruh migran.
Tidak hanya PPH Asal Aceh, semua PPH yang hadir dalam jambore ini pernah menerima ancaman dari pelaku, keluarga pelaku, pemerintah desa, bahkan ancaman dari aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa. Mereka kerap dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain, perempuan yang sok tahu hingga beberapa orang menyangsikan kapasitas PPH hanya karena jenis kelamin perempuan. sehingga PPH dianggap tidak mampu dan tidak pecus dalam mendampingi perempuan korban kekerasan. Meskipun demikian, komitmen untuk memperjuangkan hak asasi perempuan tak pernah surut dalam diri PPH.
Sebagai bentuk komitmen dalam memperjuangkan penegakan hak asasi perempuan yang selama ini belum menjadi prioritas, PPH mendeklarasikan enam butir komitmen. Diantaranya; terus bekerja bersama masyarakat untuk membela hak-hak perempuan korban kekerasan, mendorong tercipta ruang dan penguatan jaringan solidaritas antar PPH, mendorong tanggungjawab Negara untuk memenuhi hak-hak PPH atas perlindungan, jaminan social dan keamanan. Selanjutnya, PPH juga berkomitmen mendorong rumusan kode etik pembela HAM yang peka gender, pemberdayaan dan penguatan ekonomi, kesejahteraan dan pemulihan bagi korban.
Pada butir kelima, PPH mendorong lahirnya kebijakan daerah dan nasional yeng menjamin perlindungan hokum bagi pembela HAM. Dilanjutkan dengan butir ke enam, mendorong kampanye public untuk pengakuan terhadap PPH.