Wacana mengenai perlindungan hak-hak pekerja rumahan (home based worker) masih belum terlalu menjadi perhatian yang cukup serius di ruang publik. Pekerja rumahan, selama ini diasosiasikan sebagai pekerja informal sehingga tidak memiliki hak-hak normatif sebagai pekerja. Padahal, pekerja rumahan terhubungan dan memainkan peran pentinga dalam rantai produksi sektor-sektor formal atau industri skala besar.

Pekerjaan rumahan, bukanlah hal baru dan pekerja rumahan seringkali disebut sebagai ‘pekerja sub-kontrak’ di Indonesia. Pekerjaan rumahan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh keluarga, sebagian besar perempuan, dari generasi ke generasi, dengan nenek, ibu dan anak perempuan terlibat dalam pekerjaan rumahan. Meskipun sudah ada untuk waktu yang lama, mereka sebagian besar tidak terlihat dan tidak dipahami dengan baik. Beberapa upaya telah dilakukan di masa lalu untuk memahami dan meningkatkan kondisi pekerja rumahan di Indonesia, termasuk penelitian serta kerja-kerja advokasi oleh kelompok-kelompok pekerja berbasis rumahan, yang didukung oleh organisasi internasional dan organisasi masyarakat sipil terkait. Namun, isu pekerjaan rumahan belum mendapat cukup perhatian dari para pengambil kebijakan, pengusaha, serikat pekerja dan masyarakat umum, dan pekerja rumahan tetap tidak terlihat di statistik resmi dan undang-undang ketenagakerjaan, dan kurang ada informasi tentang kondisi kerja mereka. Juga tidak ada konsensus dan pemahaman bersama tentang status pekerja rumahan, dan pekerja rumahan seringkali dirancukan dengan pekerja mandiri, pekerja rumah tangga, atau bahkan seseorang yang melaksanakan beberapa kegiatan untuk mengisi waktu.

International Labour Organization (ILO) menyatakan terdapat setidaknya 12 permasalahan yang sering dihadapi oleh pekerja rumahan di Indonesia, antara lain: (1) Tak ada perjanjian kerja tertulis/kontrak; (2) Tak ada posisi tawar; (3) Upah di bawah UMK; (4) Jam kerja yang seringkali panjang; (5) Tidak ada jaminan pekerjaan atau pendapatan yang tak tentu; (6) Tidak ada jaminan sosial; (7) Tidak ada perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; (8) Tidak ada perlindungan maternal; (9) Tidak ada mekanisme untuk penyelesaian perselisihan; (10) Hambatan untuk membentuk atau menjalankan aktivitas serikat pekerja; (11) Keterlibatan pekerja anak; dan (12) Ikut menanggung sebagian biaya produksi dan resiko yang umumnya merupakan tanggung jawab pemberi kerja. Dengan sekelumit permasalah yang demikian, tentu dibutuhkan langkah konkret guna mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak pekerja rumahan.

Ketidakterlihatan menjadi tantangan terbesar bagi pekerja rumahan. Sampai saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) belum pernah menerbitkan data jumlah pekerja rumahan, baik dalam skala nasional maupun daerah. Sementara itu, respon pemerintah pun masih beragam terhadap pekerja rumahan sehingga negara masih terkesan setengah hati dalam mewujudkan perlindungan bagi pekerja rumahan. Keadaan yang demikian kemudian mengafirmasi dunia usaha untuk menggunakan tenaga pekerja rumahan untuk alasan efisiensi biaya produksi. Akhirnya, mayoritas pekerja rumahan yang belum sadar akan hak-haknya mengalami kondisi kerja yang tidak layak (precarious work).

Sebagai upaya konkret dalam mendorong perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja rumahan, dan mengadakan advokasi baik melalui pendidikan, upaya litigasi, dan advokasi kebijakan, serta tahapan advokasi berupa kampanye untuk memberikan pemahaman kepada publik mengenai hak-hak pekerja rumahan serta menggalang solidaritas publik terhadap pekerja rumahan.