Oleh : Vena Lidya Khairunissa
“Menjadi perempuan tidaklah mudah”. Kalimat tersebut kerap menjadi pro kontra di masyarakat. Masih banyak pandangan-pandangan misoginis yang mengatakan bahwa kalimat tersebut berlebihan. Bahkan ada juga pandangan yang justru menyalahkan perempuan, menilai perempuan hanya mencari dukungan untuk memvalidasi keinginannya. Realitanya, perempuan memiliki tantangan tak mudah. Perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan baik psikis, fisik, maupun ekonomi. Panggilan hati seorang perempuan serta semangat antar perempuan yang kerap digaungkan dengan tagline ”Women Support Women” menjadi salah satu dasar perempuan dengan sadar memilih menjadi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). Pilihan tersebut juga didasari semangat untuk memastikan pemenuhan hak konstitusional warga negara dilakukan oleh negara sebagai wujud tanggung jawab pada warga negara.
Menjadi perempuan saja tidak mudah, ditambah menjadi Perempuan Pembela HAM tentu tantangan yang dihadapi semakin bertambah. Dalam menjalankan tugas sebagai pendamping korban contohnya, perempuan kerap menghadapi tantangan baik dari internal maupun eksternal perempuan. Ketika melakukan konsultasi dengan korban, PPHAM dituntut dapat memahami korban dan memberikan saran untuk korban. Cerita-cerita korban yang tak jarang merupakan kasus berat dapat mempengaruhi kondisi psikologis PPHAM. Perasaan sedih berlebihan, terbayang-bayang dengan kronologi yang mengerikan, bahkan perasaan bersalah karena tidak dapat membantu korban kerap menghantui PPHAM setelah melakukan konsultasi dengan korban. Selain itu, PPHAM juga memiliki tantangan untuk berdamai dengan luka masa lalunya agar tidak terbawa saat pendampingan korban. PPHAM terkadang masih bingung memetakan apa yang dirasakannya apakah trauma terhadap cerita korban atau trauma terhadap luka masa lalu PPHAM yang belum selesai. Tuntutan beban ganda sebagai seorang perempuan juga dihadapi PPHAM. Kondisi psikologis yang belum stabil setelah melakukan konseling dengan korban harus ditambah dengan tuntutan-tuntutan di rumah seperti mengurus anak, mengurus rumah, ataupun lingkungan keluarga yang patriarki.
Selain tantangan internal, PPHAM juga menghadapi tantangan eksternal. Tantangan tersebut antara lain dari faktor kultur, faktor struktur hukum, faktor substansi hukum, faktor manajemen internal lembaga, dan faktor eksternal lembaga. Faktor kultur terdiri dari faktor pada diri korban, faktor pada orang tua korban, dan faktor masyarakat. Faktor pada diri korban antara lain korban yang tidak tahu atau tidak paham mengenai kekerasan yang dialaminya dan tidak tahu tempat melaporkan kasusnya. Faktor pada orang tua korban antara lain orang tua takut terhadap stereotype (dipengaruhi oleh budaya) khususnya untuk kasus kekerasan seksual dan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta pemahaman orang tua yang keliru tentang “pendidikan dan pengajaran” terhadap anak. Faktor masyarakat antara lain kekerasan yang terjadi dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap dianggap sebagai urusan keluarga dan tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Selain itu, masyarakat belum memiliki kesadaran hukum dan masih berasumsi bahwa berurusan dengan hukum akan menimbulkan masalah.
Tantangan faktor struktur hukum yang kerap dihadapi PPHAM antara lain aparat penegak hukum (polisi) yang tidak proaktif terhadap pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (misalnya Unit PPA tidak bekerja maksimal). Selain itu, aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) masih ada yang tidak memahami peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlindungan perempuan sehingga tidak menggunakan instrumen hukum tersebut dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya implementasi Hak Restitusi, menggunakan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kemudian faktor substansi hukum juga menjadi tantangan PPHAM, antara lain belum adanya alokasi anggaran APBD khusus untuk korban kekerasan seksual di Pusat Pelayanan Terpadu di tingkat daerah, seperti kebutuhan anggaran untuk Pendamping Juru Bahasa Isyarat (JBI) untuk korban kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas, Pemeriksaan Visum, Pemeriksaan Autopsi, dan Pemeriksaan Tes DNA; aturan hukum mengenai Hak Restitusi untuk korban kekerasan seksual masih belum diterapkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya ketika dalam proses penyidikan; serta proses penghitungan Hak Restitusi yang cukup lama dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga terlambat menyerahkan hasil Hak Restitusi kepada kepolisian atau ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelum agenda Pembacaan Tuntutan.
Manajemen internal lembaga juga menjadi salah satu tantangan PPHAM. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan keterbatasan biaya cukup menghambat proses pendampingan korban. Kemudian faktor eksternal lembaga juga kerap dihadapi oleh PPHAM seperti intimidasi, ancaman, penyebaran isu negatif, diskriminasi, kekerasan fisik seperti pemukulan di wajah hingga berdarah, perusakan rumah tinggal PPHAM, bahkan santet juga pernah diterima oleh PPHAM.
Banyaknya pergumulan-pergumulan yang harus dihadapi oleh PPHAM tidak memadamkan semangat PPHAM. Seperti sapu lidi, lidi-lidi bersatu dan saling menguatkan satu sama lain sehingga dapat berfungsi secara optimal. Begitu juga dengan PPHAM, dengan berjejaring dan berbagi pengalaman antar PPHAM dapat menjadi strategi untuk menghadapi tantangan-tantangan yang harus dijalani oleh PPHAM. Pelatihan peningkatan kapasitas PPHAM juga perlu dilakukan agar kemampuan PPHAM semakin bertambah dan berkembang. Kerjasama dengan lembaga non pemerintah, lembaga pemerintah, dan komunitas dalam pelaksanaan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dapat dilakukan antara lain dengan melakukan penyuluhan hukum dan pemberdayaan baik di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan universitas, lingkungan industri seperti pabrik, maupun di lingkungan masyarakat seperti di Kelurahan.
Strategi di atas tidak ada artinya apabila tidak diimbangi dengan kepedulian PPHAM terhadap dirinya sendiri. PPHAM harus mengupayakan berdamai dengan dirinya sendiri dan mencintai diri sendiri. Apabila dirasa membutuhkan bantuan seperti konseling ke psikolog jangan ragu untuk mengakseskannya. Tentu miris bukan, apabila PPHAM membela HAM korban tetapi di lain sisi justru menindas dirinya sendiri. Panjang umur perjuangan, panjang umur perempuan yang melawan !