Press Release
Dalam Rangka Memperingati
Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2014
“Mendesaknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Mengakhiri Buruknya Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia ”
Oleh ;
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM)
Jl. Kauman Raya No 61A Semarang, Telp/fax: (024) 6723083, Emial: lrc_kjham2004@yahoo.com.
Berdasarkan monitoring LRC-KJHAM, pada tahun 2014 tercatat 632 perempuan di Jawa Tengah mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender. 14 perempuan korban diantaranya meninggal dunia karena dibunuh dengan cara yang sadis oleh pasanganya, seperti suami dan pacar korban.
Kota Semarang tercatat sebagai Kabupaten /Kota di Jawa Tengah dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi, yaitu 155 kasus. Kemudian Kabupaten Semarang tercatat 13 kasus, Kabupaten Demak 11 kasus, Kabupaten Temanggung dan Sragen tercatat masing-masing ada 10 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan jenis kasus yang dialami perempuan korban, tercatat 147 perempuan mengalami kasus perkosaan, 108 perempuan mengalami kasus KdRT, 211 perempuan mengalami kasus eksploitasi seksual, 75 perempuan mengalami kasus kekerasan dalam pacaran (KdP), 61 perempuan mengalami kasus perdagangan manusia /human trafficking, 12 perempuan mengalami kasus kekerasan pada saat menjadi TKI, 3 perempuan mengalami kasus pelecehan seksual, dan 10 perempuan mengalami kasus perbudakan seksual.
Kasus kekerasan seksual masih tercatat sebagai kasus kekerasan berbasis gender terbesar yang dialami perempuan di Jawa Tengah. Dari 632 perempuan korban pada tahun 2014, sebanyak 507 mengalami kasus kekerasan seksual seperti kasus perbudakan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual, perkosaan dan pelecehan seksual.
Meskipun kasus kekerasan seksual adalah yang terbesar, tetapi hak-hak para korbanya belum memperoleh perlindungan berdasarkan hokum yang memadahi dari Negara. Ini dibuktikan dengan masih berlangsungnya berbagai rintangan /hambatan yang dialami para korban pada saat mereka menempuh proses peradilan. Mereka belum memperoleh hak-haknya, terutama hak atas keadilan berdasarkan hukum sebagaimana dijamin dalam Konstitusi dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi CEDAW.
Kasus perkosaan dan perbudakan seksual yang terjadi dalam rumah tangga dan dalam relasi pacaran, pelaporan /pengaduan para korban masih selalu di tolak oleh aparat penegak hokum, karena dianggap suka-sama suka, tidak cukup alat bukti, maupun dianggap tidak memenuhi unsur-unsur pidananya. Demikian juga dengan laporan /pengaduan dari para korban kasus pelecehan seksual, laporan mereka juga tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian karena dianggap tidak cukup alat bukti. Dari 3 kasus pelecehan seksual yang diadukan ke kepolisian, tidak ada satu pun pengaduan tersebut yang telah berhasil diajukan ke pengadilan. Demikian pula dengan kasus kekerasan seksual dalam relasi pacaran. Dari 75 kasuk KdP, tercatat hanya 8 perempuan korban yang berani melaporkan kasusnya ke kepolisian, tetapi belum ada satu pun pelakunya yang dibawa di pengadilan untuk dijatuhi hukuman.
Sementara dari 61 perempuan yang mengalami kasus perdagangan manusia, baru 4 kasus yang berhasil di ajukan ke pengadilan. Dan hanya 1 kasus perdagangan perempuan yang pelakunya dituntut dan dihukum dengan UU No. 21 Tahun 2007 tengang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sementara 3 kasus perdagangan perempuan lainya di Jawa Tengah, para pelakunya hanya dituntut dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penandatanganan Kesepakatan bersama tentang “Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak terhadap Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) di Jawa Tengah” antara Gubernur Jawa Tengah, Kapolda Jawa Tengah, Kajati Jawa Tengah, Ketua Pengadilan Tinggi Semarang, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah, Kepala Kanwil Hukum dan HAM Jawa Tengah dan Ketua DPD PERADI Jawa Tengah yang dilakukan pada hari ini merupakan langkah maju dan terobosan dari daerah yaitu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah untuk mengurangi dan mengakhiri rintangan-rintangan yang dialami para perempuan korban kekerasan selama menempuh proses hokum pidana. Selain itu penandatangan ini juga dimaksudkan untuk mengakhiri impunitas (kekebalan hokum) para pelaku kekerasan terhadap perempuan terutama dalam kasus kekerasan seksual. Karena banyak dari pelaku kekerasan seksual di Jawa Tengah yang belum berhasil untuk dituntut dan djatuhi hukuman oleh pengadilan.
Upaya /inisiatif Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tersebut belumlah cukup untuk memastikan hak-hak para perempuan korban kekerasan, khususnya korban kekerasan seksual. Karena masalahnya juga muncul dari hukum nasional yang belum mencukupi, misalnya hokum pidana nasional yang terkait dengan kekerasan seksual. Untuk itu Pemerintahan baru Indonesia saat ini harus segera, tanpa ditunda-tunda untuk menetapkan sebuah Undang-Undang yang lebih memadahi untuk penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.
Tanpa mengambil langkah apapun yang kuat dan memadahi untuk mencegah dan menghentikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dan sadis di Indonesia, berarti sama halnya Pemerintah Indonesia menyetujui dan membiarkan kekerasan seksual kepada perempuan. Dan ini berarti Pemerintah Indonesia telah melanggar Konstitusi dan Kewajiban Internasionalnya menurut Konvensi CEDAW PBB yang sudah diratifikasi sejak Tahun 1984.
Kontak Person :
Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM
Witi Muntari (085 740 715 982)