Press Rilis

Semarang, 12 Maret 2019 – Peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret di seluruh dunia merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap hak-hak perempuan, dengan tujuan untuk mengakhiri diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Dalam rangka memperingatinya Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) bersama Dinas Perberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, Fatayat NU Jawa Tengah, PPT Seruni, Komunitas Perempuan, Support Group Sekartaji, dan PPT Kecamatan Semarang menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang dimulai hari ini dengan Dialog Publik tentang RUU P-KS. Kegiatan ini bertujuan untuk menghimpun pendapat dan pandangan dari berbagai elemen masyarakat sehubungan dengan pembahasan RUU P-KS sebagai salah satu produk hukum yang akan mendorong upaya perlindungan korban kekerasan seksual.

Di Jawa Tengah, berdasarkan data monitoring LRC-KJHAM yang tercatat sejak tahun 2013 – 2018 terdapat 2.289 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.427 perempuan yang menjadi korban, dan 50 % nya yaitu 2.454 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya di Jawa Tengah setiap hari ada 1 sampai 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dengan sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat yang memiliki relasi kuasa seperti ayah tiri, ayah kandung, paman, pacar, tetangga, guru ngaji dan atasan atau majikan.

Menurut Dian Puspitasari, S.H

Bentuk kekerasan seksual yang ada di Pasal 1 ayat (1) RUU P-KS dimana ada frasa “hasrat seksual, bentuk kekerasan seksual lainnya” untuk mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual, dan kita tidak tahu akan ada bentuk kekerasan seksual dalam bentuk lain lagi di masa yang akan datang. Tentunya ini harus memenuhi unsur dan mengharap Pak KH Khoril Muna menghadirkan pakar ahli untuk memformulasikan isi dari RUU P-KS ini, dan bukan untuk menghilangkan pengalaman korban.

Menurut Drs. KH Khoirul Muna

RUU ini dibuat untuk melindungi perempuan dan memberikan efek jera, serta berkomitmen di akhir periode ini akan segera menyelesaikan RUU P-KS agar segera menjadi Undang-Undang.

Menurut hasil kajian pendokumentasian pengala`man perempuan korban kekerasan seksual di 9 Provinsi yang dilakukan oleh LRC-KJHAM bersama Forum Pengada Layanan (FPL) tahun 2016 menemukan sebanyak 81% atau 38 perempuan korban kekerasan seksual memilih proses hukum sebagai sarana mendapatkan keadilan. Sementara pengalaman LRC-KJHAM terdapat berbagai hambatan yang dialami perempuan korban kekerasan seksual selama proses hukum diantaranya didamaikannya kasus kekerasan seksual oleh oknum aparat penegak hukum, ditolaknya laporan korban kekerasan seksual, mandegnya proses penyidikan karena hambatan pembuktian, putusan rendah untuk kasus kekerasan seksual, korban kekerasan seksual mengalami kriminalisasi dan korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku.

Menurut Nyai Hindun Anisah.

Mendorong Legislatif, yang saat ini ada Pak KH Muna untuk segera mensahkan RUU P-KS ini. Demi tercapainya kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat, dan demi melindungi perempuan yang termarjinalkan.

Selain itu keterbatasan rumusan pidana kekerasan seksual yang terdapat dalam KUHP, UU PKDRT, UUmPerlidungan anak serta UU Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang belum mampu mewadahi seluruh bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban kekerasan. Ketiadaan mekanisme khusus penanganan kasus kekerasan seksual  sebagaimana Undang-undang diatas, menjadikan pelaporan kasus kekerasan seksual lebih banyak terkendala pembuktian.

Dari hambatan-hambatan tersebut, seharusnya pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS yang saat ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2019). Tetapi hingga saat ini pembahasan RUU P-KS tersebut mandeg di Pansus RUU P-KS Komisi VIII DPR RI. Maka penting untuk bersama-sama dengan berbagai elemen baik masyarakat, legislatif, pemerintah, tokoh agama, tokoh perempuan, akademisi dalam mendorong segera dibahasnya RUU P-KS untuk melindungi korban kekerasan seksual khususnya perempuan dan anak korban.