

Semarang, 8 Maret 2020
Kampanye hari perempuan Internasional (International Women’s Day) dilakukan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya. Hari Perempuan Internasional pertama kali dilakukan pada 28 Februari 1909. Diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika Serikat untuk memperingati hari demonstrasi yang dilakukan oleh pekerja buruh perempuan di New York pada 8 Maret 1908. Saat itu, para perempuan pekerja pabrik garmen menuntut hak mereka untuk berpendapat dan berpolitik.
Sampai saat ini, tidak hanya perempuan pekerja pabrik yang mengalami pelanggaran hak, tetapi perempuan pekerja di sektor lainnya juga. Perempuan pekerja rumahan, perempuan dengan disabilitas, perempuan pesisir/ nelayan, perempuan yang berhadapan dengan konflik lingkungan, perempuan petani, perempuan pekerja migran, perempuan kepala keluarga, perempuan korban kekerasan, perempuan minoritas seksual, perempuan pekerja seks dan perempuan buruh. Dari berbagi sektor pekerja perempuan ini mengalami hambatan terutama dalam mengakses hak atas jaminan perlindungan sosial.
Pelanggaran hak perempuan terjadi secara sistematis, disemua lini kehidupan. Dilakukan dan dilanggengkan oleh institusi Negara, tidak hanya itu tetapi juga institusi lain seperti budaya, agama, ekonomi dan pendidikan. Dilembagakan melalui produk-produk kebijakan.
Dari berbagai sektor aktivitas perempuan, perempuan terancam menjadi korban kekerasan seksual. Misalnya kampus, tempat kerja, transportasi umum bahkan di dalam rumah. Bentuknya beragam mulai dari pelecehan sampai perkosaan. Sedangkan payung hukum untuk melindungi perempuan korban kekerasan belum ada. Berdasarkan data LRC-KJHAM pada tahun 2019, terdapat 84 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 42 diantaranya menjadi korban kekerasan seksual.
Pada tahun 2020 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam prolegnas prioritas. Bersamaan juga ada RUU ketahanan keluarga dan RUU omnibus law Cipta Lapangan Kerja. Tentunya ini berpotensi menghambat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketika omnibuslaw disahkan maka upah buruh perempuan akan semakin rendah, ruang kerja tak aman, hamil di PHK. Perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh tani dan nelayan digusur dari sumber kehidupannya. Banyaknya persoalan dan situasi yang dialami perempuan menunjukan bahwa adanya ratifikasi konvensi CEDAW, adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga belum mampu menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua sektor.
Berdasarkan hal tersebut kami Jaringan IWD Semarang mendesak kepada pemerintah agar:
- Tolak RUU bermasalah Omnibus Law dan Halu.
- Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga.
- Penuhi edukasi seks dalam institusi pendidikan dan permudah akses alat kontrasepsi dan kespro.
- Hentikan Operasi militer di Papua.
- Dukung pilihan perempuan atas tubuhnya.
- Permudah layanan BPJS.
- Cabut pasal karet UU ITE.
- Lindungi Hak Buruh Migran.
- Hentikan Kriminalisasi aktivis perempuan dan pekerja seks.
- Penuhi hak aksesibilitas dan sesibilitas terhadap kawan disabilitas.
- Penuhi hak korban penggusuran.
- Hentikan segala bentuk diskriminasi (minoritas seksual dan gender, minoritas agama, perempuan dalam organisasi).
CP:
Maey (0813-2929-7676)
Dini (0858-0297-2326)