Launching Data Situasi Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah Dalam Rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan
“Mendorong Percepatan Adanya Peraturan Turunan Undang- undang TPKS Demi Terwujudnya Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Seksual”

Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)
Jl. Kauman Raya No. 61 A Pedurungan Semarang
No Telp 024 6715520, Email lrc_kjham2004@yahoo.com

Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan berlangsung sejak tanggal 25 November sampai 10 Desember. Pemilihan rentang waktu tersebut secara simbolik menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dengan Hak Asasi Manusia, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dilakukan setiap tahunnya bersama jaringan maupun masing-masing lembaga. Sebagai upaya pencegahan dan Pendidikan publik untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.


Pemerintah telah memiliki banyak komitmen yang telah disahkan melalui peraturan perundang-undangan. Adanya undang-undang nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan, undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Lalu pada tahun ini mengesahkan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.


Namun hingga saat ini negara belum mampu menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, faktanya perempuan masih mengalami kekerasan. Berdasarkan data LRC-KJHAM tercatat sejak 2017 – 2021 terdapat 1.249 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa tengah. Sedangkan Januari – November 2022 tercatat 124 kasus, dengan 147 perempuan menjadi korban, 70% perempuan menjadi korban kekerasan seksual, 1 korban kekerasan seksual meninggal dunia dan 2 korban KDRT mengalami kriminalisasi.


Berdasarkan sebaran kasus tertinggi di Kota Semarang yaitu 58 kasus atau 46,8%, kemudian di Kabupaten Sragen yaitu 13 kasus atau 10,4%, Kabupaten Demak yaitu 8 kasus atau 6,5%, Kabupaten Semarang yaitu 7 kasus Atau 5,7%, dan Kabupaten Jepara yaitu 5 kasus Atau 4%. Apabila dilihat berdasarkan jenis kasusnya tertinggi kekerasan seksual dengan 83 kasus, diantaranya pelecehan seksual 19 kasus, eksploitasi seksual 19 kasus, kekerasan dalam pacaran 24 kasus, perbudakan seksual 6 kasus, perkosaan 12 kasus, pemaksaan aborsi 1 kasus, trafficking dengan tujuan eksploitasi seksual 1 kasus, prostitusi online 1 kasus, perkosaan dalam rumah tangga 4 kasus, KdRT 33 kasus dan Kekerasan dalam pacaran mengalami kekerasan fisik dan psikis 4 kasus.


Dilihat dari usia korban, 62,50% korban berusia dewasa, 35,40% usia korban anak dan 2,10% korban tidak diketahui usianya. Sedangkan pelaku juga lebih banyak usia dewasa dengan jumlah 85%, sedangkan 9,30% usia anak dan 5,70% tidak diketahui usianya. Lokasi kejadian banyak terjadi di wilayah privat dengan jumlah 55,30% dan di wilayah publik 44,70%.

Pelaku kekerasan terhadap perempuan lebih banyak dilakukan oleh orang- orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah tiri, suami, dosen, kyai, atasan dalam hubungan pekerjaan, pacar, teman, guru, tetangga, driver online, mantan pacar, orang tidak dikenal. Dilihat dari bentuk kekerasannya perempuan korban mengalami kekerasan seperti dijambak, dibenturkan ke tembok, diancam akan dibunuh, diancam akan disebarkan foto atau video tanpa busana korban, memaksa korban untuk melakukan video call seks dan memperlihatkan alat kelamin pelaku, membujuk rayu korban dan memperjual belikan korban untuk melayani hubungan seksual pelaku, bahkan tidak diberi nafkah hingga diusir dari rumah.

Modus yang digunakan oleh pelaku kekerasan seksual juga beragam dengan memanfaatkan aplikasi Tinder, Game Online untuk membangun kepercayaan, pendekatan dengan korban. Seperti diajak bertemu di hotel, minta dikirimin foto payudara, tanpa pakaian, dengan janji fotonya tidak akan disebarkan ke orang lain. Dinikahi dengan dua kalimat syahadat tanpa wali dan saksi. Membujuk korban usia anak untuk ikut dalam prostitusi online dengan iming-iming imbalan uang serta enak jika tidur di kamar hotel.

Sementara itu korban masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. Diantaranya adalah adanya kasus pelecehan seksual korban dewasa yang didampingi LRC-KJHAM tidak diproses setelah korban mendapatkan tekanan dari orang tua pelaku. Korban diminta untuk mencabut laporannya di kepolisian. Padahal dalam undang-undang TPKS jelas mengatur bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat dilakukan diberlakukan mekanisme keadilan restoratif.
Sudah ada Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual tetapi masih belum bisa diimplementasikan. Seperti pada kasus eksploitasi seksual yang korbannya perempuan dewasa, kasus kekerasan seksual dengan modus dipacari oleh pelaku karena dianggap bukan kekerasan tetapi “suka sama suka”. Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga juga sulit untuk diproses. Dari kasus yang didampingi LRC-KJHAM, hasil pemeriksaan medis korban KDRT yang juga mengalami kekerasan seksual tidak diterima polisi, karena dianggap tidak ada kekerasan dalam relasi suami istri

Berdasarkan pada situasi tersebut maka kami menuntut kehadiran Negara :

  1. Aparat penegak hukum harus mengimplementasikan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  2. Pemerintah segera membuat peraturan turunan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  3. Mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
  4. Memperkuat gerakan masyarakat sipil dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan

Kontak Person :

Citra Ayu Kurniawati

(085726402796)