Oleh : Dewi Ratna Jai (Alumni Sekolah Gender Angkatan IV)

Selama berabad-abad di berbagai belahan dunia, sistem patriarki menjadi suatu tatanan yang seolah legal dan normal. Semua bidang kehidupan manusia diwarnai sistem ini.  Bahkan lembaga keagamaan yang seyogyanya menjunjung tinggi kesetaraan manusia sarat dengan patriarki. Sudah bukan sebuah rahasia bahwa patriarki melahirkan begitu banyak kejahatan dan pelanggaran HAM sepanjang sejarah. Wanita hanya dijadikan objek dan bukan subjek kehidupan. Wanita seolah-olah lahir hanya untuk menduduki kursi nomor 2 yang tidak dapat diisi laki-laki. Padahal perbedaan pria dan wanita hanya menyangkut kodrat biologis saja. Selebihnya merupakan konstruksi budaya yang salah kaprah. Pertanyaannya, layakkah seorang wanita diperlakukan demikian? Apakah memang wanita bukan subjek kehidupan? Sekali-kali tidak! Pria dan wanita adalah sama dalam hak. Hak untuk berkembang dan mengekspresikan kemampuan dirinya. Pembatasan-pembatasan yang diberikan budaya pada wanita bukan hal yang layak dipelihara. Harus ditinjau kembali apakah pembatasan itu merupakan kodrat atau hanya konstruksi budaya saja. 

Sekolah Gender yang diselenggarakan oleh LRC-KJHAM dalam hal ini merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengkritisi budaya patriarki yang rupanya masih eksis hingga zaman ini. Sekolah Gender menjadi saat untuk berefleksi tentang hakikat manusia yang pada dasarnya memiliki hak yang sama atas akses apapun untuk mendukung hidupnya.  Sangat tidak dibenarkan apapun entah aturan atau perundang-undangan yang membatasi gerak seseorang hanya karena ia wanita. Aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang bias gender bukan sesuatu yang harus dijunjung. Prinsip equality lah yang seharusnya menjiwai seluruh kehidupan manusia. Tidak ada pihak yang dengan mudah mengakses layanan tertentu dan di sisi lain ada pihak yang dipersulit. Apalagi jika hal itu hanya karena perbedaan gendernya. Kesadaran akan hak wanita sebagai bagian integral dari hak asasi manusia harus terus digemakan. Kegiatan sekolah gender menjadi wadah bagi tumbuhnya kesadaran ini. Bahwasanya hak asasi manusia dan hak perempuan tidak dapat dipisahkan.  Orang tidak dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia telah ditegakkan jika hak-hak perempuan tetap diabaikan. Budaya patriarki yang kuno itu mestinya berangsur-angsur hilang oleh lahirnya sistem berpikir equality. Equal dalam akses apapun itu. Baik di bidang politik, pendidikan, kebudayaan, sosial kemasyarakatan, kesempatan kerja dan lain-lain. Bukan saatnya lagi bagi kita untuk memelihara mental budak bagi seorang wanita. Wanita tidak identik dengan  pelayan. Ia pantas mendapatkan penghormatan setinggi mungkin. Bukan saja karena kemampuan yang dimilikinya tetapi lebih-lebih karena ia adalah seorang manusia. Manusia yang sama, setara dan sederajat dengan pria. Ia bukan obyek tetapi subyek kehidupan. Ia pantas mengubah sejarah dengan eksistensi dirinya. Sekali lagi, ia sama, setara dengan laki-laki dalam hak apapun itu. Nilai kesetaraan inilah yang harus diperjuangkan oleh sekolah gender dari angkatan ke angkatan. Sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama, para relawan muda yang lahir dari semangat kesetaraan bisa berseru dengan bangga, “Patriarki sudah mati;Sekolah Gender yang membunuhnya”.