

Tulisan ini berawal dari pembicaraan dengan Mbak Siti Aminah Sutardi atau sering disebut mbak amik dan beberapa kawan di media social terkait pengalaman perempuan berhadapan dengan undang-undang perkawinan salah satu topik yang diangkat adalah mengenai pencatatan perkawinan.
Meskipun Undang-undang perkawinan telah berusia 46 tahun, sampai saat ini masih banyak ditemukan masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya dengan berbagai alasan. Pencatatan perkawinan menjadi dilema karena bukan menjadi syarat sahnya suatu perkawinan. Melainkan persoalan administrasi kependudukan. Padahal pencatatan perkawinan menjadi pintu masuk mendapatkan perlindungan bagi setiap orang terutama perempuan dan anak-anak dalam perkawinan.
Ketidakjelasan substansi dan kurangnya perangkat penegakan hukum mengenai pencatatan perkawinan telah berkontribusi mendorong keengganan masyarakat dalam pencatatan perkawinan. Ketidak jelasan substansi terlihat dalam Pasal 2 ayat 1 yang menjelaskan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara ayat (2) menjelaskan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka bagi masyarakat yang terpenting adalah perkawinan yang dilakukan telah sah tanpa harus mencatatkannya. Karena masyarakat juga masih menerima keberadaan perkawinan yang tidak tercatat asalkan sudah sah.
Bila dicermati, secara gramatikal pasal 1 UUP menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Pasal 6 dan 7 yang mengatur tentang persyaratan perkawinan pun tidak mencatumkan tentang pencatatan. Pasal 2 Ayat 1 dan ayat 2 mengatur dua hal berbeda meskipun masih saling memiliki terkaitan. Dalam ayat 1 disebutkan perkawinan yang dilakukan secara agama adalah sah. Sementara ayat 2 nya merupakan kewajiban bagi warga negara untuk mencatatkan perkawinan dalam sistem administrasi negara. Tujuannya jelas untuk ketertiban administrasi.
Dalam Kompilasi ditegaskan bahwa pencatatan pernikahan bertujuan menjamin ketertiban perkawinan. [1]Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Perkawinan yang sudah sesuai dengan UU perkawinan meskipun tidak tercatat tetap sah hanya saja tidak memiliki tidak mempunyai kekuatan Hukum. Disinilah peluang keragaman tafsir yang berdampak ketidaksesuaian dengan pasal 1. Dengan demikian makna sah dalam pasal 2 ayat (1), adalah sah menurut agama.
Meksipun dalam undang-undang perkawinan tidak ada satupun ketentuan sanksi pidana bagi yang tidak mencatatkan perkawinannya tetapi jika dihubungkan dengan undang-undang lain misalnya Undang-undang administrasi kependudukan maka kelalaian atau adanya unsur kesengajaan tidak mencatatkan perkawinannya merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Sehingga dapat dapat dikenakan sanksi baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.
- Siapa yang memiliki kewajiban untuk mencatatkan perkawinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan? Apakah suami atau istri, atau harus keduanya ataukah pihak lain seperti keluarga dan aparat setempat?
- Bagaimana Sanksi bagi yang pelanggaran pencatatan perkawinan?
Seperti sudah disampaikan diatas ketidak tegasan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak hanya menghalangi perlindungan bagi kelompok rentan yakni perempuan dan anak tetapi juga menimbulkan kerentanan baru yakni peluang kriminalisasi pada kelompok perempuan.
Beberapa kasus yang pernah datang kepada LRC-KJHAM berkaitan kesengajaan dan kelalaian untuk mencatatkan perkawinan yang telah terjadi memberikan dampak yang sangat serius bagi keberlangsungan dua kelompok rentan tersebut. Dampak yang ditimbulkan menjadi efek domino yang terus-menerus dialami kedua kelompok rentan tersebut. Seperti yang dialami perempuan berinisial MSD, 33 tahun dari Salatiga, YM, 43 tahun, asal semarang GAT dari Semarang, L, 15 tahun dari Semarang, R dari Semarang, NSW dan M dari Semarang.
Dian Puspitasari (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Advokat, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016-2018)
[1] Lihat Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam.