Oleh: Pujiharti Romadhani (Staff muda LRC-KJHAM)

Perempuan memiliki porsi dan letaknya sendiri dimata tuhan, lalu kenapa kita sebagai manusia semakin angkuh dengan tidak menghargai perempuan.

Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual dimasa Pandemi Covid-19 menjadi tema diskusi webinar Binar’Puan#4. Tema ini dilatarbelakangi karena dengan situasi pandemi covid-19 perempuan dalam memperoleh Keadilan mengalami kesulitan dan hambatan, sehingga dalam diskusi ini perlu suara bersama agar perjuangan dalam memperoleh keadilan tak terhenti. Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2020 pukul 13.00 – 15.00 WIB melalui via zoo.us, dengan narasumber Dr. Marcella Elwina Simanjuntak, SH., Cn., M.Hum. (Dekan Fakultas Hukum & Komunikasi Unika Soegijapranata), Nur Laila Hafidhoh, M.Pd (Direktur LRC-KJHAM) dan Pujiwati (Organisasi Survivor SG Sekartaji), yang di moderatori oleh Silvia Ansori (Presenter RRI).

Tantangan Pandemi dan Strategi Intensif

Perbandingan pendampingan dulu sebelum covid-19 dan sekarang sangat jauh berbeda. Dimana dulu bisa saling bertatap muka antara pendamping dan korban, memberikan pelukan kepada korban yang menjadi bentuk penguatan. Namun di situasi sekarang ini dihadapkan tantangan yang luar biasa. Semua dilakukan secara online seperti via whatsaap dan media sosial. Akses layanan dan informasi juga terbatas. Korban yang membutuhkan Pemulihan Psikologis harus melakukan screening online covid-19. Proses konseling yang dilakukan secara online berdampak pada lamanya proses konseling  karena korban tidak intens membalas pesan pendamping. Ditambah lagi kebijakan PKM berdampak pada banyaknya jalan yang ditutup sehingga menghambat proses pendampingan.

Untuk keluar menghadapi tantangan tersebut perlu adanya rekomendasi dan strategi yang intensif. Seperti yang disampaikan oleh Direktur LRC-KJHAM, antara lain yaitu seluruh infrastruktur kebijakan pencegahan dan penanganan Covid-19 terintegrasi dengan layanan KtP. Misalnya jika ada indikasi kekerasan, petugas atau satgas covid bisa merujukkan ke lembaga layanan penanganan kasus KtP. Pencegahan kekerasan berbasis online juga bisa dilakukan, mengingat saat ini kebutuhan berkomunikasi secara online semakin meningkat. Dan juga publikasi informasi tentang KtP digaungkan lebih masif lagi.

Pemerintah di Kota Semarang sedang berusaha untuk memenuhi sarana prasaran yang memadai. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Krisseptiana Hendrar Prihadi atau sapaannya Bu Tia, bahwa di PPT seruni, sarana prasarana berusaha untuk dipenuhi. Kasus yang sudah diterima dari januari sampai sekarang yaitu 117 kasus. Yang banyak adalah kasus kekerasan seksual. Selain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), banyak sekali kekerasan yang terjadi diluar rumah, terutama yang menjadi perhatian adalah adanya pemerkosaan yang dialami oleh anak SMP.

RUU P-KS masih sulit, Perkuat edukasi

Pembahasan RUU P-KS yang satu-satu bakal payung hukum Kekerasan Seksual kini tersendat karena masalah prioritas. Penegakan Hukum (law enforcement) menjadi slow response, akses keadilan sulit karena kebijakan PSBB/PKM.

Menurut Narasumber Marcella Eliwina, Payung hukum yang sedang diperjuangkan yaitu RUU P-KS cukup komprehensif. Dimana beliau mengutip Prof sucipto Raharjo “Hukum itu ketika dibuat itu cacat sejak dilahirkan. Jadi karena tidak ada aturan hukum yang bisa secara komprehensif mengatur seluruh perilaku hidup manusia”. jikalau secara hukum tidak bisa, bisa secara sosial semisal diberi edukasi dari sejak dini. Edukasi bisa berupa persepsi tentang tubuh, pengertian kekerasan dsb.

Payung hukum terkait kekerasan seksual ini cukup sulit untuk disahkan karena perbedaan persepsi, tidak dipungkiri bahwa memang tidak semua anggota parlemen paham isu gender. Ada pula kemudian dipolitisir supaya membuat seakan perempuan yang baik itu adalah mau nurut sama suami, dengan dalih relasi kuasa. Kekerasan bisa dilakukan individu dan dilakukan oleh negara. Kekerasan yang dilakukan negara yaitu melakukan pembiaran jika terjadi suatu kejahatan. Perlindungan harus preventif, salah satunya dengan berjejaring dan pemerintah mengedukasi masyarakat. Represif juga penting, semisal penjahat keadilan perlu ditegakan untuk korban.

Pemahaman soal kekerasan, butuh waktu untuk memahami, sudah sekian tahun baru menyadari itu kekerasan seksual. Butuh upaya supaya bisa membangun pemahaman, meningkatkan pengetahuan masyarakat soal kekerasan seksual. Strateginya memperluas informasi melalui berbagai media melalui komunitas, kelompok perempuan. Melalui kelompok ini, menjadi pengetahuan dan memperkuat pemahaman bersama. Dan strategi yang terus berkembang.

Keadilan bagi perempuan korban kekerasan bisa dilakukan siapa saja. Yang paling kejam adalah pembiaran, kekerasan yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pembiaran atau payung hukum yang bisa dikatakan cacat hukum. Solusinya adalah kita harus satukan pikiran, satukan kegiatan, stop pada kekerasan dalam bentuk apapun, dan jangan menganggap ini adalah aib. (Sivia Ansori)