Selama lima hari, dari tanggal 25 – 30 Juli 2020 Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) telah melaksanakan program Sekolah Gender angkatan II, bekerjasama dengan PSGA UIN Walisongo Semarang dan PSG UNIKA Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh 28 peserta dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, jaringan komunitas, dan pekerja migran dari berbagai wilayah baik dalam negeri maupun luar negeri. Digagasnya program Sekolah Gender II ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang keadilan genderTerima kasih Mba Wiwiwik dan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai perwujudan HAM dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dengan mendiskusikan 21 materi seputar kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di aspek lingkungan, budaya, hukum, politik, hingga ekonomi bersama narasumber yang ahli di bidangnya.

Salah satu materi yang dibahas dalam Sekolah Gender II adalah menyikapi dicabutnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Alumni Sekolah Gender II menilai dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas prioritas 2020 adalah bentuk ketidakhadiran dan kepedulian negara terhadap korban kekerasan seksual. Padahal selama pembahasan alot RUU PKS, kasus kekerasan seksual terus bertambah. Data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Lebih lanjut, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) yang artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Catatan ini merupakan fenomena gunung es, yang diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman (Siaran Pers Komnas Perempuan pada tanggal 6 Maret 2020).

Selain itu, kami menilai Indonesia belum memiliki payung hukum yang dapat menjamin hak-hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Kemampuan korban untuk mendapatkan akses keadilan merupakan perwujudan hak asasi manusia, seperti hak untuk terbebas dari diskriminasi, hak atas kesetaraan, hak atas kebenaran, hak atas perlindungan dan hak atas pemulihan. Namun, undang-undang di Indonesia saat ini hanya mengatur penindakan terhadap pelaku sehingga korban rentan mengalami reviktimisasi. Salah satu contohnya adalah kasus Baiq Nuril pada tahun 2018 yang menjadi korban kekerasan seksual, tetapi mendapatkan ketidakadilan dengan dikriminalkan atas dakwaan melanggar Pasal 27 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena merekam peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah di tempat ia mengajar.

Lebih lanjut, menurut kami negara perlu melakukan redefinisi mengenai kekerasan seksual karena saat ini instrumen hukum kita hanya mengenal mengenai perbuatan cabul dan perkosaan, sementara bentuk-bentuk kekerasan seksual sudah berkembang seiring perkembangan sosial masyarakat. Berdasarkan pernyataan LRC-KJHAM, secara kualitas kasus kekerasan seksual semakin beragam, diantaranya adalah perdagangan orang, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi seksual, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga hingga revenge porn.

Oleh karena itu, kami sangat menyayangkan sikap DPR yang mengeluarkan RUU PKS ini dari Prolegnas yang sudah masuk sejak 2016 dengan alasan sulitnya pembahasan RUU ini, sedangkan RUU yang baru masuk seperti Omnibus Law dan Minerba telah disahkan. Dengan demikian, kami menyatakan sikap untuk MENDUKUNG SEGERA DISAHKANNYA RUU PKS!

Adapun dalam rangka mendukung segera disahkannya RUU PKS ini, Alumni Sekolah Gender II bersama dengan Ganas Community Taiwan, Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong Macau, Women’s Crisis Center Pandulangu Angu Gereja Kristen Sumba (WCC PA GKS), KOPRI PKC PMII Jawa Tengah, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unisbank, menuntut:

  1. DPR RI harus memasukkan RUU PKS ke dalam Prolegnas 2021 di bulan Oktober 2020.
  2. DPR RI harus menunjukkan sikap tegas dan komitmennya untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PKS dengan mempertahankan enam elemen kunci RUU PKS, yaitu sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana dan pemantauan.
  3. Pihak yang selama ini menolak disahkannya RUU PKS dapat menyampaikan aspirasinya yang berdasarkan pada kepentingan umum, bukan kelompok tertentu dengan cara-cara yang ditetapkan oleh hukum.

Dan juga mendorong masyarakat untuk bersama-sama mengawal pembahasan RUU PKS.

Demikian siaran pers beserta tuntutan ini kami buat dan sampaikan untuk ditindaklanjuti. Atas perhatian dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan terima kasih.

Semarang, 9 Agustus 2020

Alumni Sekolah Gender Angkatan II