Oleh: Pujiharti Romadhani (Saff Muda Divi INDOK)

Rancangan Undang-Undang (RUU Ketahanan Keluarga tidak mempunyai keberpihakan pada isu Perlindungan Perempuan, RUU ini justru mengokohkan budaya patriarki dalam keluarga sehingga mendomestifikasi kembali peran perempuan. Patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki dari pada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Hal tersebut berpotensi menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan, karena RUU ini bermaksud mengembalikan perempuan ke dalam peran-peran domestik dengan beban tanggungjawab pengurusan rumah tangga ke tangan perempuan sebagai istri.

RUU Ketahanan Keluarga, jika dicermati secara umum juga tumpang tindih dengan sejumlah Undang-undang yang sudah ada, seperti undang-undang perkawinan, undang-undang kesehatan, undang-undang perlindungan anak, undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Dapat dilihat dari peran domestik perempuan sebagai istri yang mengurus rumah tangga, sebagaimana yang diatur dalam UU No 1 tahun 1974 sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Sedangkan dalam RUU Halu ini Istri Wajib urus rumah tangga (Pasal 25 ayat 3) “ Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain: wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika, social, dan ketentuan peraturan perundangan.

Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2020 menyebutkan bahwa tahun 2019 kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus yang dilaporkan, meningkat dari 406.178 pada tahun 2018. Dan di tahun 2018 tercatat ada 13.384 kasus yang dilaporkan merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Sedangkan menurut data LRC-KJHAM sendiri, angka kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat di setiap tahunnya. Di tahun 2017 terdapat 44 kasus, meningkat di tahun 2018 yaitu sejumlah 49 kasus, dan di tahun 2019 ini meningkat lagi menjadi 79 kasus.

Jika, RUU ini di sahkan maka secara tidak langsung Negara turut membungkam kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus menerus terjadi.