Ngemper episode ke 47 edisi lintas iman, pada series 1 ini membahas tentang “Kekerasan Berbasis Gender; Perspektif Theolog”. Kekerasan berbasis gender bisa menyerang siapa saja/siapapun  dan dimanapun tempatnya bisa jadi korban/pelaku. Pendeta Obertina, narasumber dalam ngemper kali ini menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender di lingkungan theolog sama seperti kasus Kekerasan Berbasis Gender di lingkungan lain contohnya di lingkungan teman-teman muslim. Tidak hanya pada teman-teman muslim, semua rentan menjadi korban dan berpotensi menjadi pelaku apalagi karena adanya relasi kuasa. Jadi agama manapun, dimanapun tempatnya dengan latar belakang apapun juga rentan menjadi korban dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan Berbasis Gender apalagi adanya relasi kuasa.

“Di gereja, ada beberapa teks yang melanggengkan Kekerasan Berbasis Gender misalnya pada Efesus 5 : “hai istri-istri tunduklah kepada suamimu seperti jemaat tunduk kepada Tuhan”. Teks itu sebenarnya bukan bicara soal ketundukan penuh, misal di pukul itu tidak apa-apa. Kata seorang ahli perjanjian baru dosen di sebuah patheologi, teks itu mengatakan sebelum bagian “hai istri-istri tunduklah kepada suamimu” ada bagian bahwa “keduanya harus tunduk kepada Tuhan”. Setelah “hai istri-istri tunduklah kepada suamimu” juga ada bagian “hai suami-suami kasihi lah istrimu sebagaimana Tuhan mengasihi jemaatnya” seperti mubadalah, ada kesalingan / kesepadanan,” paparnya.

Selain itu , pendeta yang akrab disapa Kak Obe menambahkan bahwa konsep ini ada dalam kekristenan. Tetapi teks tadi yang disebut di tafsirannya kurang tepat jadi banyak korban KdRT yang datang ke gereja, kemudian ditunjukkan teks tersebut dan di minta untuk pulang ke rumah yang penuh kekerasan karena “istri-istri harus tunduk kepada suaminya”. Teks lain yang sering di pakai yaitu teks di dalam injil tentang perceraian. Dalam salah satu injil ada cerita dimana orang-orang pemimpin agama bertanya pada Yesus “bagaimana menurut hukum di Gereja, apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Tuhan Yesus mengatakan “Tidak boleh. Yang bisa memisahkan hanya perbuatan zina”. Oleh orang-orang jaman sekarang di pakai untuk membungkam para korban, membuat para korban tidak boleh cerai karna apa yang sudah di persatukan sama Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Padahal teks itu  Ketika dibaca ulang didalam konteksnya “laki-laki Yahudi boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa saja.”

Menyambung obrolan tersebut, Kak Obe mencontohkan bahwa jadi kalau diumpamakan itu tidak ada peraturannya, tidak ada perlindungannya. Yesus mengatakan itu untuk melindungi perempuan supaya laki laki tidak sembarangan menceraikan istrinya. Jadi harus ada alasan yang valid, alasan yang tidak bisa lagi dikompromikan maka baru boleh di ceraikan. Tapi ayat tersebut juga masih sering dipakai untuk melanggengkan kalau ada perempuan yang sudah tidak tahan lagi minta proses cerai, maka keluarga juga gereja menjelaskan ada tertulis “perkawinan yang sudah di persatukan Tuhan tidak bisa diceraikan oleh manusia”. Ini contoh-contoh teks yang ditemukan selama mendampingi korban dipakai untuk melanggengkan kekerasan. Jadi korban dituntut untuk menerima karena ada teks yang penafsirannya untuk melanggenggkan Kekerasan Berbasis Gender.

“Bicara dari pengalaman sebagai seorang pendeta di gereja kristen protestan anggota PGI, sebenarnya topik ini masih jarang dibicarakan di gereja apalagi sampai ke penanganan / pendampingan korban. Anggota PGI ada 91 gereja di seluruh Indonesia  belum lagi organisasi yang besar. Dari 91 gereja anggota PGI yang punya lembaga layanan kurang dari 10. Sekitar ada 6 dan mempunyai Women Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang yang melakukan pendampingan pada korban. Ada juga gereja-gereja yang mulai melakukan perubahan pardigma salah satunya melalui anggota Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Theologi di Indonesia) dan banyak  anggotanya pendeta dan mempunyai training yang bernama Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MADMB) dan ada modulnya dan itu dilatihkan kepada anggota Perwati yang adalah pendeta. Sehingga mereka membaca teks-teks  yang seperti diatas membacanya beda seperti yang sudah dilakukan sampai sekarang. Ternyata teks tersebut bukan bicara soal ketundukan penuh tapi ketundukan keduanya  laki-laki dan perempuan kepada Allah. Atau soal perceraian yang dibacanya “ingin matipun tidak boleh cerai” tapi bagaimana memberikan perlindungan kepada perempuan,” jelasnya.

Ada juga buku panduan untuk pengajian/kebaktian perempuan juga di tulis berspektif adil gender, jadi untuk pencegahan juga aktif mendorong gereja untuk melakukan kampanye seperti 16 HAKTP, Women’s March, sosialisasi melalui media, youtube, dan lain-lain. Untuk anak-anak di Pasundan Uretan ada buku kecil untuk anak-anak yang memberi pengetahuan tentang menghargai tubuhnya dan tubuh orang lain . Ada seminar, training, dan lain-lain tetapi blm semua gereja mempunyai WCC.

Penanganan awal yang dilakukan di lingkungan gereja khususnya di Peruati yaitu melatih anggota jemaat yang awam (tidak belajar theologi) terkait dengan keadilan gender yang diharapkan menjdi orang-orang yang jika ada Kekerasan Berbasis Gender bisa membantu korban. Karena selama ini jika ada kejadian Kekerasan berbasis Gender langsung dibully dan dihakimi. Minimal dengan orang-orang yang sudah dilatih melaui training yang dilakukan Peruati, korban tidak lagi dibully tetapi di tolong. Minimal dapat menunjuk lembaga yang bisa mendampingi kalau semisal Peruati tidak bisa melakukan konseling. Penanganan lanjutan ada beberapa gereja yang sudah  punya WCC dan mendorong mereka punya database jika ada kejadian, bisa mengetahui ada kasus-kasusnya.

Peruati sendiri ada 38 BPD ada hampir diseluruh Indonesia, seluruh Provinsi kecuali Papua dan ada BPC. Training gender justice diadakan peruati secara nasional mengundang angota BPD tetapi juga mendorong setelah ikut yang nasional dan diharapkan mampu mendorong dapat dibuat di masing-masing daerah.

Untuk menutup obrolan sore ini, Kak obe memberikan Rekomendasi untuk pemerintah “penguatan kapasitas terutama APH, kita harus bersyukur dengan payung hukum yang di punya apalagi sudah ada UU TPKS tapi kalau APH nya kapasitasny tidak ditingkatkan itu tidak menolong korban juga”. Bagaimana menginterfensi pelaku melalui pengadilan misal KdRT yang korbannya sudah dikonseling, yang pelakunya tidak diinterfensi bisa jadi ada korban lain. Penguatan kapasitas APH dan implementasi payung hukum yang ada agar bisa berspektif terhadap korban. Kemudian disambung dengan memberikan Pesan untuk masyarakat “apabila ada korban, teman tidak sendiri, ada LRC KJHAM, Peruati dan yang lain untuk teman bercerita dan mencari bantuan / pertolongan. Setiap orang yang punya kekuasaan untuk mendatangkan  kebaikan bagi para korban” bisa mulai dipikirkan apa yang bisa dibuat termasuk gereja karena punya kekuasaan untuk mengusahakan apa yang terbaik untuk korban minimal memberikan pendidikan publik tentang apa itu kekerasan dan KBG itu bisa diatasi dan di respon dengan baik.

Berdasarkan beberapa hal diatas, Kekerasan Berbasis Gender dapat terjadi dimanapun dan siapapun berpeluang menjadi korban dan pelaku. Peran dari Lembaga Keagamaan sangat penting dalam melakukan pencegahan dan penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang merupakan orang yang sangat dihormati dan dianut oleh jamaatnya masing-masing.

Penulis: Dhani Tri Rahmawati (Staff LRC-KJHAM)