Aksi Kolaborasi untuk mendukung RUU Penghapusan kekerasan Seksual di Jawa Tengah – DIY

Oleh: Ika Y.H (Staff Divisi Advokasi Kebijakan)


Aksi Kolaborasi untuk mendukung RUU Penghapusan kekerasan Seksual di Jawa Tengah – DIY

Semarang, 14 Januari 2020 

LRC-KJHAM bersama Sekertariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia menyelenggarakan kegiatan Aksi kolaborasi untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk jaringan di Jawa Tengah dan DIY. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Harris Hotel Semarang, dengan dihadiri 20 peserta yang terdiri dari 3 unsur yaitu organisasi keagamaan, akademisi dan CSO/ NGO. Kegiatan ini dliakukan bertujuan untuk  (1) Menggalang dukungan organisasi keagamaan perempuan untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual , (2) Merumuskan strategi bersama untuk advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pentingnya pelibatan organisasi keagamaan dan akademisi yang lebih intens adalah di latar belakangi oleh beberapa factor. Pertama, kuatnya gerakan-gerakan yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sebagian besar teridentifikasi berasal dari unsur organisasi kegamaan dan akademisi. Kedua, situasi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR RI terhambat karena perbedaan pemahaman oleh ahli hukum. Ini juga diperkuat dari pernyataan narasumber dalam kegiatan tersebut yaitu mbak Nurherwati selaku purnabakti sebagai Komisioner di Komnas Perempuan.

Sementara itu, menurut penuturan Veny selaku koordinator dari Sekertariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia ketika memberikan pengantaran untuk sesi kedua kegiatan yaitu “data kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2016-2018 ada 17.940 kasus kekerasan seksual, 8.797 kasus diantaranya adalah perkosaan. Dan Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia dengan 20 anggotanya di 15 provinsi juga mencatat sejak tahun 2017-2019 menangani /mendampingi 3.565 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1.290 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Dari kasus yang ditangai tepotret hanya 181 Kasus KS yang diproses dalam sistem peradilan pidana dan hanya 2 Kasus /korban yang mendapatkan bantuan ekonomi”. Artinya Negara Indonesia saat ini sudah darurat kekerasan seksual dan krisis keadilan untuk korban kekerasan seksual.

Proses advoksi RUU Penghapusan kekerasan Seksual yang banyak mengalami hambatan ditahun sebelumnya, diharapkan ditahun 2020 dengan tata kerja DPR RI periode baru dapat memperoleh hasil progresif yaitu disahkan. Maka pada diskusi sesi kedua kegiatan tersbut seluruh peserta berperan aktif memberikan masukan serta kontribusinya untuk memperkuat strategi advokasi RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual.  Seperti yang disampaikan oleh PW Aisyiyah Jawa Tengah yaitu mbak Hartati dan PSGA UIN Walisongo yaitu Ibu Tatik terkait pendokumentasian/ pendataan kasus kekerasan seksual yang sudah mereka lakukan di organisasinya. Kegiatan penelitian tentang kekerasan sekusal yang akan dilakukan oleh PSGA UIN Walisongo. Sementara ibu Ratih dari WHDI menyampiakan perlu dilakukan Konsolidasi organisasi keagamaan lintas agama secara berkala mulai dari internal lembaga untuk memperkuat pemahaman subtansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dan pembuatan visual yang populis untuk dukungan RUU P-KS di media social.

Selain dari masing-masing organisasi melakukan upaya untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan, ada pula upaya yang dirumuskan dan akan dilakukan bersama, yaitu ;

  1. Mulai mengubah cara berfikir tentang perempuan sebagai subject hukum.
  2. Pemetaan actor baik di daerah maupun di nasional
  3. Membuat tulisan popular yang bisa diakses oleh semua elemen untuk mencounter penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  4. Melakukan sosialisasi mengenai RUU KS sampai ke akar rumput.

Kegiatan aksi kolaborasi ini didukung oleh program MAMPU yaitu kemitraan Australia-indonesia untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.