Press Release

Memperingati 25 November Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

“Hentikan Diskriminasi Terhadap Perempuan”

Oleh ;
Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak
(LBH Apik, LBH Semarang, LRC-KJHAM, SPRT, PBHI, SETARA, IIWC, PKBI, Perempuan Mahardika, KOPRI Jateng, KOPRI Cabang Semarang, KOHATI Cabang Semarang, PPT Seruni Kota Semarang, KPI Kota Semarang, LPSAP Rayon Tarbiyah, PMII Komisariat Walisongo)

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye Internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang di awali pada tanggal 25 November dan berakhir di 10 Desember
Tanggal 25 November dipilih sebagai hari Internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tanggal ini sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis gender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
Dalam pemenuhan hak asasi perempuan Indonesia telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Yang diikuti dengan adanya UU No.7 tahun 1984, selain itu, ada beberapa kemajuan lain yang menjadi komitmen pemerintah dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak perempuan baik berupa UU, maupun Perda yang ada di tingkat daerah. Namun dengan adanya komitmen tersebut tidak dibarengi dengan implementasi yang baik, sehingga masih banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan diberbagai sektor. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2014 tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah tercatat 632 perempuan menjadi korban. 14 perempuan korban meninggal dunia, 3 meninggal karena kasus KdRT, 7 meninggal karena kasus KdP, 2 karena kasus perkosaan, 1 korban karena kasus Buruh Migran dan 1 kasus korban meninggal karena prostitut.
Berdasarkan jenis kasus 108 kasus KdRT dengan 108 perempuan menjadi korbannya. 95 kasus perkosaan dengan 147 korban, 37 kasus prostitusi dengan 211 korban. 47 kasus Kdp dengan 75 korban, 19 kasus trafficking dengan 61 korban. 12 kasus Buruh Migran dengan 12 korban, 3 kasus pelecehan seksual dengan 3 korban, dan 10 kasus perbudakan seksual dan 10 perempuan menjadi korban.
Terdapat 632 korban dengan 507 perempuan mengalami kekerasan seksual, yang terjadi dalam relasi yang berbeda seperti kekerasan seksual dalam rumah tangga, relasi pacaran, perbudakan seksual, prostitut, trafiking maupun perkosaan. Kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk perkosaan maupun pelecehan seksual akan tetapi meluas pada bentuk lain yaitu perbudakan seksual Terdapat banyak hambatan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan hak-haknya melalui mekanisme hukum pidana. Misalnya masih ditemukannya laporan perempuan korban kekerasan seksual yang ditolak kepolisian karena usia dewasa dan dianggap suka sama suka. Tingginya laju kekerasan terhadap perempuan tersebut tidak dibarengi dengan jumlah APH yang terlatih sehingga kembali menjadi hambatan perempuan dalam mengakses keadilan.
Selain faktor kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat jumlahnya serta berkembangnya modus kekerasan terhadap perempuan khususnya untuk bentuk kekerasan seksual yaitu muncul kasus perbudakan seksual dan kontrol seksual melalui perda-perda yang mengatasnamakan aturan agama dan kontrol moral yang semakin memposisikan perempuan menjadi semakin diperlakukan diskriminatif oleh negara dan peradaban patriarki. Faktor ketiadaan perlindungan bagi perempuan dari kelompok marginal dan rentan diantaranya yaitu ditolaknya Draf RUU Perlindungan PRT yang dalam 2 periode prolegnas DPR yaitu 2004-2009 dan 2009-2014 serta tidak menjadi prioritas prolegnas sehingga batal dibahas dan diundangkan, serta kekerasan dan intimisdasi yang dialami oleh perempuan miskin dan marginal yang menjadi korban dalam konflik sumber daya alam seperti pendirian Pabrik Semen di Rembang dan PLTU di Batang, semakin meneguhkan dominasi patriartki dan keterlibatan negara sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Perempuan.
Dengan berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan diberbagai sektor tersebut maka Negara harus segera mengambil langkah-langkah dalam memenuhi hak-hak perempuan :
1. Pemerintah Indonesia harus segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT
2. Pemerintah provinsi Jawa Tengah harus ikut serta adanya rancangan RUU Penghapusan Kekerasan seksual
3. Mendesak Pemerintah Indonesia dan DPR-RI untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prioritas Prolegnas tahun 2015 untuk pengesahannya, untuk memastikan para pelakunya memperoleh hukuman dan korban memperoleh perlindungan dan pemulihan korban
4. Pemerintah baik pusat/provinsi harus menyediakan anggaran kusus untuk perempuan korban kekerasan seksual
5. Pemerintah memperkuat komitmen perwujudan perlindungan terhadap perempuan korban
6. Mengajak masyarakat untuk bersatu demi mewujudkan hak asasi perempuan
7. Aparat penegak hukum polri, membuat Unit PPA sampai tingkat polsek, jaksa, perbanyak jaksa yang memahami tentang isu kekerasan terhadap perempuan, pengadilan penyelenggaraan siding yang sifatknya transparan, informasi mudah diakses oleh korban
8. Menolak seluruh bentuk praktik mafia peradilan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Humas Aksi
Witi Muntari – 085740715982